Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tradisi, Otoritas dan Kebenaran---Pandangan seorang Vantillian

Vantillian's picture

John Wesley dalam ajarannya menekankan adanya empat unsur yang saling berkaitan dalam memahami kebenaran Kristen yaitu Alkitab, Tradisi, Akal dan Pengalaman. Tradisi yang dimaksud disini adalah sejarah gereja awal/purba, tulisan bapa-bapa gereja dan tradisi ibadah gereja ( misalnya buku doa). Bagi Wesley, ajaran Bapa gereja merupakan tradisi yang sangat penting. Meskipun mengutamakan Alkitab, tetapi Wesleyan tidak membuang tradisi. Inilah pendekatan Quadilateral dalam teologi Wesley.

Tradisi merupakan salah satu sumber otoritas yang diyakini sebagai kebenaran. Tradisi kadang bahkan menjadi sama dengan mutlaknya kebenaran. Tradisi tidak selalu benar seluruhnya namun juga tidak salah seluruhnya. Tradisi harus selalu diuji oleh otoritas sejati. Dalam hal ini adalah Kebenaran Firman. Bagaimana mungkin menguji tradisi dengan memakai firman sementara tool pengujian itu sendiri dipengaruhi oleh tradisi? Disinilah kita harus berhati-hati meletakkan presuposisi otoritas kebenaran kita. Apakah sumber otoritas kita dapat diuji oleh kebenaran? Bagaimana mungkin menguji sumber otoritas dengan otoritas yang diyakini kita sebagai kebenaran?
 
Tradisi adalah seperangkat model atau paradigma yang berujung pada perumusan suatu dogma sebagai penentu atau aturan bagi kehidupan manusia. Tradisi sangat dipengaruhi oleh zaman. Setiap zaman membentuk tradisi yang akan menjadi pedoman bagi generasi berikutnya. Setiap tradisi yang salah akan tergantikan oleh tradisi selanjutnya. Ada yang mengalami reformasi, ada yang revolusi. Paradigma merupakan suatu pola pemikiran yang disepakati dalam membentuk suatu fondasi untuk menilai dan menuntun. Fondasi ini sangat penting sebagai penanda dan penilai zaman. Tetapi paradigma suatu zaman dapat digugat oleh paradigma yang telah disepakati untuk dibentuk. Semua bidang dalam kehidupan manusia mengalami perubahan dan pembentukan paradigma pemikiran. Dari teologi, sains, budaya, sampai pada gaya hidup.
 
Tradisi merupakan suatu KEHARUSAN yang ada dalam pembentukan budaya manusia. Manusia memerlukan tradisi untuk menjalani hidup. Manusia perlu pedoman dan penopang. Salah satunya adalah tradisi, baik itu berupa pemikiran, karya, atau pengaruh seseorang atau sekelompok orang tertentu. Dengan demikian tradisi menjadi suatu otoritas bagi manusia untuk menentukan pilihannya. Tradisi adalah hal yang penting yang menentukan peradaban manusia. Setiap kebudayaan manusia dapat dipelajari dari tradisi yang membentuknya. Termasuk di dalamnya tradisi keagamaan.
 
Bukan hanya di dalam keagamaan, tradisi ilmiah juga mempunyai paradigma yang harus diikuti. Seorang dokter atau ilmuwan harus memperhatikan dan mempelajari bahkan memegang kuat (yakin) terhadap ajaran leluhur terdahulu. Bagi ilmuwan Biologi, tidak percaya pada tradisi evolusi, merupakan suatu cacat ilmiah. Evolusi adalah paradigma ilmu sains yang menjadi fondasi untuk mengerti semua cabang ilmu Biologi yang lain. Tanpa evolusi, ilmu perilaku hewan tidak akan bisa dipahami dengan benar. Tanpa evolusi, ilmu taksonomi hewan tidak akan bisa disusun dan diajarkan. Evolusi adalah konsep inti penentu peradaban ilmu biologi. Para ilmuwan yang memegang tradisi ini, lupa bahwa tradisi sains adalah justru untuk membuktikan segala hipotesa atau kemungkinan yang dapat diamati/diteliti.
 
Tradisi sains adalah Falsifikasi dan Verifikasi. Dengan demikian maka paradigma evolusi BUKAN paradigma mutlak penentu kerangka ilmu biologi. Meskipun evolusi telah menjadi suatu “presuposisi” bagi sebagian besar ilmuwan, namun tradisi sains menentang presuposisi tersebut. Sains harus bekerja dalam suatu pola membongkar dan membentuk secara terus menerus dalam setiap zaman.
 
Gereja Roma Katolik adalah salah satu gereja yang memegang teguh tradisi kekristenan dalam sistem kepausan. Kita sering memandang tradisi katolik yang akhirnya membuat gereja Katolik menjadi gereja yang menyimpang dari kebenaran. Namun menyalahkan gereja Katolik karena memegang tradisi yang kuat itu sama seperti melihat selumbar di mata Katolik tetapi gajah di pelupuk mata sendiri tidak terlihat. Setiap gereja mempunyai tradisi yang dipegang secara ketat. Bahkan gereja yang mengklaim terlepas dari tradisi yang “membosankan” akan membuat paradigma tradisi sendiri. Setiap denominasi mempunyai rujukan pada ajaran terdahulu dan berpresuposisikan suatu paradigma tertentu.
 
Ketika berdiskusi/berdebat tentang suatu ajaran di denominasi tertentu, kita akan cenderung memutlakkan kebenaran tradisi. Denominasi Methodist akan memakai ajaran Wesley sebagai titik penentu segala diskusi. Denominasi Reformed akan memakai ajaran Calvin sebagai batas penentu kebenaran. Ajaran John Calvin akan dianggap lebih berotoritas dalam gereja Calvinis dibandingkan dengan ajaran John Wesley. Ini adalah suatu kewajaran karena suatu denominasi pasti berakar kuat pada tradisi pengajaran tertentu. Lalu apakah yang akan menjadi penentu kebenaran? Tentu saja adalah kebenaran itu sendiri. Semua tradisi meskipun diakui secara otoritatif, tetapi bukan sumber otoritas TERTINGGI. Dengan demikian, paradigma tradisi teologis TERBUKA untuk mengalami transformasi maupun reformasi. Inilah kesejajaran antara tradisi sains dan teologi.
 
Meskipun terdapat kesejajaran antara sains dan teologi, tetapi tradisi teologis mempunyai ikatan yang lebih kuat. Agama mempunyai suatu KEWIBAWAAN tersendiri yang tidak dimiliki oleh sains. Kewibawaan ini menyangkut suatu relasi kepercayaan tersendiri serta objek wibawa. Meragukan semua sistem keagamaan dan semua kepercayaan akan berakibat pada pemutlakan sistem DIRI. Dalam sains, meragukan semua hasil hipotesa dan teori akan menjadi fondasi untuk menemukan teori yang lebih benar/baik, meskipun anda tidak bisa meragukan segalanya tanpa ada suatu fondasi paradigma/presuposisi anda tertentu. Namun dalam sistem tradisi kekristenan, kewibawaan terletak di dalam tindakan dan karya Allah dalam sejarah. Tindakan dan ucapan Ilahi dalam sejarah inilah yang menjadi penentu dan pembentuk tradisi Kristen sehingga akhirnya menjadi otoritatif bagi generasi selanjutnya.
 
Ulangan 6:6 Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan,
Ulangan 6:7 haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.
Ulangan 6:8 Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu,
Ulangan 6:9 dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.
 
Dengan demikian, menyatakan bahwa tradisi keagamaan selalu salah dan harus diubah terus menerus adalah suatu bentuk pemahaman yang keliru. Firman Allah sendiri disampaikan melalui sejarah tradisi Israel. Firman Allah sendiri diajarkan dalam suatu pola tradisi turun-temurun. Dengan demikian tradisi Israel merupakan suatu relasi pengalaman Israel dengan wahyu Allah yang hidup. Tradisi ini akhirnya membentuk suatu pola ibadah dan tata acara dalam system masyrakat religius Israel.
 
Sayang sekali, dalam sejarahnya, bangsa Israel akhirnya memutlakan system tradisi mereka sehingga menjadikan mereka menjadi penentu kebenaran. Inilah hal yang ditentang oleh Yesus dalam diri orang farisi dan ahli taurat.
 
Matius
15:1 Kemudian datanglah beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem kepada Yesus dan berkata:
15:2 "Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan."
15:3 Tetapi jawab Yesus kepada mereka: "Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?
15:4 Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati.
15:5 Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah,
15:6 orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri.
15:7 Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu:
15:8 Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.
15:9 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia."
 
Ini adalah bahaya laten yang mesti diwaspadai, karena tradisi merupakan suatu pola relasi pengalaman manusia. Ketika berjumpa dengan Sang Mutlak, akan melahirkan suatu refleksi pengalaman tradisi. Bahaya terbesar adalah ketika memahami pengalaman itu sebagai ganti Sang Mutlak. Bagian tradisi yang berubah akhirnya ditentukan menjadi SANG ABADI. Esensi mengapa ada tradisi TERGANTIKAN oleh eksistensi tradisi itu sendiri. Makna mengapa harus muncul tradisi tersebut, akhirnya hilang karena ditutupi oleh pandangan naïf bahwa BENTUK tradisi adalah sumber otoritas tertinggi. Membedakan antara kebenaran sebagai otoritas tertinggi dan tradisi sebagai turunannya merupakan hal yang harus digumulkan sepanjang zaman. Perintah Allah dan perintah manusia harus dengan jelas dibedakan secara hati-hati. Demikian juga perumusan teologis dalam refleksi pembelajaran Alkitab.
 
Meyakini aliran teologis tertentu merupakan suatu keharusan dalam penyusunan fondasi ajaran. Namun jika memutlakan sistem teologis tertentu dan menjadikan sebagai KEBENARAN itu sendiri, berpotensi mencampuradukan kebenaran itu sendiri dengan kebenaran diri. Sistem teologis adalah sistem terbuka. Sistem kebenaran adalah sistem tertutup. Hubungan antara kedua hal ini harus dirumuskan dengan bijaksana. Kebenaran adalah eksklusif. Tetapi tradisi pemikiran tidak pernah menjadi eksklusif mutlak benar terhadap tradisi yang lain. Salah memahami ini akan menjadikan perintah manusia menjadi sumber otoritas tertinggi dibanding perintah Tuhan. Salah memahami ini, akan berujung pada pemutlakan DIRI sehingga menjadi penentu bagi semua yang tidak sepakat dengan paradigmanya. Salah memahami ini, akan terjadi perendahan nilai terhadap tradisi pemikiran yang lain.
 
Bukankah orang farisi dan ahli taurat adalah contoh yang nyata betapa mereka telah mengganggap tradisi DIRI mereka MUTLAK benar? Dan bukankah hal tersebut yang dikecam keras oleh Yesus?
 
kutukupret berbuludomba's picture

ngantuk

clingak-clinguk

 

pertamaxxx

Vantillian's picture

Kutu, kalau ngantuk...

Kutu, kalau ngantuk, minum kopi DISINI....

rogermixtin09's picture

Sola Scriptura

Syaloom sdr Vantilian

 

saya setuju dengan anda.Apapun tradisi itu,baik tradisi methodist,calvinis,pentakostlisme atapun katolik,apabila bertentangan dengan Alkitab maka harus ditolak.

 

trims

 

Tuhan Yesus memberkati

Vantillian's picture

Roger, benar...

Roger, tradisi sangat penting dalam pembentukan fondasi dan cara pikir, namun tradisi bukan mutlak benar...Banyak orang kristen yang menyerukan "Sola Scriptura" atau "back to Bible" namun seringkali terjebak dalam ajaran tulisan para teolog besar yang diakui. Akibatnya tulisan teolog tersebut menjadi standar kebenaran. Ini yang harus kita sadari meskipun bukan berarti tradisi teologis adalah salah seluruhnya...

rogermixtin09's picture

Benar juga

Saloom sdr Vant

Kenyataanya orang cenderung mempertahankan dan membela mati matian tradisi yang sudah dijalani ratusan bahkan ribuan tahun.Melalui tulisan-tulisan anda dan tulisan sdr hai hai ternyata bahwa banyak tradisi yang diajarkan para teolog besar bertentangan dengan ajaran sejati alkitab sehingga membuat saya semakin yakin akan seruan Sola Scriptura .

trims

 

Tuhan Yesus memberkati

okulasi's picture

@vant: hidup tradisi

 sdr vant,pemilihan kata kta anda cukup baik

karena sadar atau tidak sadar saat inipun kita sedang memegang teguh sebuah tradisi dan menurut kita itu adalah sebuah kebenaran.

Jikalau ada kata -kata yang yang kurang berkenan itu murni karena kebodohan saya .JBU

Vantillian's picture

Okulasi, terima kasih

Okulasi, terima kasih untuk pujiannya...Sebenarnya dalam blog saya, saya tidak sedang menyatakan tradisi harus ditolak atau PASTI salah, namun saya sedang mempertanyakan KEMUTLAKAN suatu tradisi...Semoga anda mendapat hal yang baik dari blog ini. Gbu...

joli's picture

kebenaran diri adl sistem terbuka..

Semua tradisi meskipun diakui secara otoritatif, tetapi bukan sumber otoritas TERTINGGI. Dengan demikian, paradigma tradisi teologis TERBUKA untuk mengalami transformasi maupun reformasi. Inilah kesejajaran antara tradisi sains dan teologi.

Satu lagi dari Vantilian, tentang "kebenaran" :)

Tradisi sains SEJAJAR dengan tradisi teologi, ya , ini yang sering di lupakan, sering kita menganggap teologi lebih, karena ilmu tentang tuhan, padahal ya podo-podo ilmu-nya ya..? tradisi teologi bukan kebenaran itu sendiri, jadi masih terbuka untuk berubah (sesuai dengan pembaruan budimu)

Vant, masih muter-muter tentang kebenaran mutlak, diuji oleh kebenaran itu sendiri.. walah, mau sampai kapan? Sebagai pencari kebenaran, mesti belum ketemu mutlaknya tapi asik juga sih, bila diijinkan dan di beri anugerah menemukan kebetulan-kebetulan kecil, sesuai pertumbuhan pengenalan kita akan Tuhan..

 

Vantillian's picture

Cik Joli... teologi, sains dan diri..

Cik Joli, memang tulisan Vant banyak berputar-putar di sana ya? Hehe... Kebenaran adalah siklus tertutup ( jika ditinjau dari sistem)..Karena kebenaran bersifat independent dan mengikat. Sains dan teologi selalu mencari kebenaran, karena itu bersifat terbuka ( untuk transformasi dan reformasi). Sedangkan DIRI adalah subjek yang mencari kebenaran, karena itu bersifat dependent dan terikat. Sains dan teologi adalah perumusan/penjabaran dari DIRI yang mencari ketergantungan mutlak pada kebenaran. Sains dan teologi mempunyai kesejajaran dalam banyak hal, meskipun dalam beberapa hal berbeda. Istilah "kesejajaran" saya ambil dari istilah Lesslie Newbigin. Salah satu buku yang sudah terbit adalah Injil dalam Masyarakat yang Majemuk ( terbitan BPK Gunung Mulia). Buku yang baik dan penuh dengan epistemologi kekristenan yang patut direnungkan. Cocok untuk Cik Joli yang suka berpikir dalam.

Kristus adalah Kebenaran itu sendiri. Manusia bukan kebenaran, karena itu jika kita percaya kepada Kristus, kebenaran akan memerdekakan kita. Konsep ini sangat luar biasa. Orang yang percaya dipandang sebagai orang yang dibenarkan. Kebenaran Injil membenarkan orang yang hidup oleh iman. APakah maksudnya dibenarkan? Apakah itu berarti kita menjadi kebenaran itu sendiri, ataukah kita masih mencari kebenaran? Ataukah kita menjadi setengah kebenaran setengah lagi ketidakbenaran? Orang benar akan hidup oleh iman, bukan berarti kita akan menjadi standar kebenaran itu sendiri. Namun jika kita hidup di dalam FirmanNya dan FirmanNya hidup dalam diri kita, maka kita dapat menilai ketidakbenaran yang ada. Tetapi bukan dengan standar DIRI kita, melainkan dengan standar kebenaran Firman. Salah memahami ini, akan menjadikan kita menghakimi ketidakbenaran dengan kebenaran DIRI kita. Memutlakan yang relatif dan merelatifkan yang mutlak adalah bahaya terbesar dari kekristenan. Menurut saya, kalangan teolog dan kaum Reformed sangat rentan terjebak dalam hal ini, meskipun semua orang Kristen juga menghadapi hal yang sama.

kutukupret berbuludomba's picture

@ganti tagline: komunitas blogger protestan

berhubung semuanya sudah setuju sola scriptura...

sabdaspace ganti saja taglinenya jadi komunitas blogger protestan

 

yang menganut prima scriptura boleh pindah ke situs lain

PlainBread's picture

Dari mana anda tahu kalo

Dari mana anda tahu kalo semuanya setuju sola scriptura?

 

The only difference between a sarcasm and a satire is the first one is usually done with anger while the later one is done with a smile - PlainBread

kutukupret berbuludomba's picture

@tidak tahu kalau tidak dijajal

Makanya saya tulis "semua setuju" supaya yang tidak setuju bisa nongol dan protes.

PlainBread's picture

@Kutukupret

Jadi anda sebenarnya tidak tahu, tapi pura-pura tahu, supaya yang tidak setuju dengan kepura-pura-tahu-an anda bisa protes, sehingga yang anda tadinya tidak tahu, bisa jadi benar-benar tahu dengan cara pura-pura tahu?

Interesting :-)

 

The only difference between a sarcasm and a satire is the first one is usually done with anger while the later one is done with a smile - PlainBread

PlainBread's picture

Kebenaran, Tradisi

Idealnya memang begitu, kebenaran harus diuji sama kebenaran. Tapi kelemahan agama2 (termasuk kekristenan) biasanya malah terjebak ke dalam circular reasoning. Yang ada bukannya menguji suatu hal dengan kebenaran, tapi malah  menguji suatu premis dengan premis yang lain. Misalnya:

Q Why do you believe that Jesus is God?

A: Because the bible tells me so.

 

Bicara tradisi juga gak beda jauh. yang kontra tradisi bilang yang harus dipegang adalah alkitab, bukan tradisi. Circular dah, wong alkitab itu produk tradisi juga.

Yang pro tradisi bilang yang harus dipegang adalah alkitab DAN tradisi. Circular juga, gimana mau memilah2 mana yang tradisi yang benar mana yang gak kalo tradisi itu sama level otoritasnya dengan alkitab?

 

 

The only difference between a sarcasm and a satire is the first one is usually done with anger while the later one is done with a smile - PlainBread

Vantillian's picture

PB, Circular reasoning....

PB, kalau mau diuji semua kebenaran suatu objek, tetap akan bersifat circular reasoning. Bagaimana menguji sesuatu itu benar atau tidak? Tentu saja memakai kriteria tertentu. Lalu bagaimana kita bisa tahu kriteria itu benar2 valid? Tentu saja harus ada standar yang baku. Lalu bagaimana kita tahu bahwa suatu standar itu benar2 baku? Bukankah kita harus mempunyai fondasi/presuposisi yang tidak terbantahkan? Lalu bagaimana kita tahu bahwa fondasi dimana kita berdiri adalah fondasi yang tidak terbantahkan? Bukankah itu harus dibantah dulu baru bisa dikatakan tidak terbantahkan? Akhirnya kita akan beragumen putar-putar atau istilah kerennya circular reasoning. Karena itulah kita tetap berpegang pada kebenaran yang menilai kebenaran. Kebenaran sebagai sistem tertutup. Dengan kata lain, circular reasoning merupakan KEHARUSAN dalam berargumen. Tidak ada argumen yang dianggap benar jika belum masuk ke dalam circular reasoning sistem kebenaran. Bukankah ini adalah topik yang selalu diributkan dalam filsafat? Sampai pada aliran Lingkaran Wina, para filsuf berbangga karena sudah menetapkan suatu standar VERIFIKASI kebenaran. Tetapi akhirnya keluar pertanyaan : Siapakah yang menetapkan standar verifikasi itu? Atau dasar apakah yang membuat valid tool verifikasi itu? Akhirnya semua pengetahuan filsafat akan berujung pada kebenaran DIRI, yang kita semuanya tahu kemudian kebenaran DIRI akan menindas kebenaran Allah.

Demikian juga tradisi dan Alkitab. Bahkan Alkitab pun harus masuk ke dalam pola circular reasoning kebenaran. Kita akan selalu berputar-putar dalam hal ini. Tidak ada satupun pernyataan, teori, kesimpulan yang tidak melewati circular reasoning. Bahkan komentar anda juga termasuk circular reasoning tanpa suatu kesimpulan pasti. Bukankah anda menyimpulkan dengan circular reasoning? Haha

PlainBread's picture

@Van: Circular Reasoning

Menurut saya circular reasoning seharusnya dibedakan dengan misalnya, metode ilmiah. Walaupun terkesan keduanya sama menggunakan atau melahirkan pertanyaan2 untuk menguji hal sebelumnya, tapi ada perbedaan significant antara pertanyaan2 pada circular reasonigng dan metode ilmiah.

Misalnya:

Circular reasoning:

1. Kenapa Percaya Yesus adalah Tuhan? Karena alkitab mengatakan demikian.

Kenapa anda percaya apa kata alkitab? Karena saya beriman kepada alkitab.

Kenapa anda beriman kepada alkitab? Karena ada ayat di alkitab yang bilang tulisan2 yang diilhamkan Allah bermanfaat untuk mengajar, mengkoreksi kesalahan, dll.

Keliatannya valid, padahal tidak. Semua pertanyaan tersebut muter2 di situ saja. Apakah pertanyaan2 tersebut benar2 terjawab? Tidak sama sekali.

Metode Ilmiah:

1. Kenapa ada angin? Dibuat pertanyaan baru: Sebelum bertanya kenapa, harus dijelaskan apakah itu angin.

2. Apakah itu angin? Dibuat presuposisi atau hipotesa: Angin adalah udara yang bergerak.

3. Kenapa dan bagaimana udara bisa bergerak? Dibuat berbagai eksperimen. Mulai dari energy atau tool yang bisa membuat udara bergerak (kipas angin, hembusan udara dari mulut), sampai kepada pencarian kenapa udara bisa bergerak sendiri tanpa ada tool seperti kipas angin atau tanpa ada pihak yang sengaja menggerakan udara .

4. Kalau pertanyaan terakhir di poin 3 tidak ketemu jawabannya, berarti pertanyaan di nomor 1 belum ketemu jawabannya.

5. Kalo pertanyaan terakhir di poin 3 bisa dibuktikan dengan eksperimen bahwa dari eksperimen terbukti angin terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara, berarti pertanyaan nomor 1 ketemu jawabannya (atau sampai ada pihak lain yang bisa menyatakan dan bereksperimen sebaliknya).

Dari contoh di atas, circular reasoning dan metode ilmiah memang sama2 berputar melingkar. Tapi yang pertama tidak menjawab apa2 selain hanya berputar2 di situ saja, yang kedua bersifat menyelesaikan masalah/memberikan jawaban.

Salah satu kelemahan circular reasoning adalah semuanya bercampur aduk, mana premis / presuposisi / asumsi dan mana yang jawaban / kesimpulan / kebenaran sudah tidak jelas. Bukan hanya premis diuji dengan premis lain, tapi seringkali premis A diuji dengan premis A sendiri (kenapa anda suka makan mangga daripada buah2an yang lain? jawab: karena saya suka makan mangga dariapda buah2an yang lain).

Atau yang lebih tersirat:

Q. Kenapa percaya Tuhan

A: Karena tertulis di alkitab.

Q: Kenapa anda percaya apa yang tertulis di alkitab? 

A: Karena alkitab adalah firman Tuhan.

"Tuhan", kata yang tercetak tebal: Menjawab pertanyaan dengan hal yang ditanyakan di dalam pertanyaan itu sendiri.

Kalo itu terjadi, akhirnya semua hal bisa dikatakan benar alias tidak bisa dinyatakan salah. Semua agama, denominasi dan kelompok mana saja (baik agama / non-agama) bisa mengklaim kebenaran dengan ber-circular reasoning tanpa perlu benar2 menjawab. Akhirnya kebenaran yang dikatakan sebagai "sistem tertutup" malah benar2 tertutup untuk bisa diuji.,

 

The only difference between a sarcasm and a satire is the first one is usually done with anger while the later one is done with a smile - PlainBread

Vantillian's picture

PB, Metode ilmiah hanya circular sementara

PB, dalam pemahaman saya, metode ilmiah bukan hanya circular reasoning, bahkan metode ilmiah hanya suatu seperangkat aturan untuk menguji. Hasil ujinya tidak bisa disebut kebenaran final. Karena itu, metode ilmiah selalu berpresuposisikan "kebenaran ideal/transedent". Itu berarti SAMA SEPERTI kebenaran teologis. Circular reasoning yang anda contohkan di atas :

1. Kenapa Percaya Yesus adalah Tuhan? Karena alkitab mengatakan demikian.

Kenapa anda percaya apa kata alkitab? Karena saya beriman kepada alkitab.

Kenapa anda beriman kepada alkitab? Karena ada ayat di alkitab yang bilang tulisan2 yang diilhamkan Allah bermanfaat untuk mengajar, mengkoreksi kesalahan, dll.

Bukan berarti pertanyaan dan jawabannya tidak valid, karena anda menilai dari standar kevalidan yang anda buat sendiri. Itu BUKTINYA :

Dari contoh di atas, circular reasoning dan metode ilmiah memang sama2 berputar melingkar. Tapi yang pertama tidak menjawab apa2 selain hanya berputar2 di situ saja, yang kedua bersifat menyelesaikan masalah/memberikan jawaban.

PB, bagi anda, masalah valid atau tidaknya adalah apakah itu MENYELESAIKAN MASALAH atau tidak. itulah Standar kebenaran anda. Kalau sesuatu hasil uji dapat menyelesaikan masalah namun menimbulkan masalah lain, menurut anda apakah itu valid atau tidak? Apakah anda yakin ada hasil uji yang bisa menyelesaikan masalah atau memberikan jawaban NAMUN tidak akan menimbulkan pertanyaan dan jawaban lain? Hehe...Bukankah ini yang justru tidak akan mungkin dicapai oleh metode ilmiah? Setiap hasil uji selalu circular reasoning...Anda tidak percaya? Silakan anda uji semua hasil metode ilmiah yang paling hebatpun, pasti semuanya akan berputar-putar. Supaya tidak putar2 dan kelihatan ILMIAH, maka diberikan KONSEP PEMBATAS yaitu SEMUA hasil metode ilmiah dianggap benar JIKA belum ada percobaan yang membantahnya. SEMUA hasil metode ilmiah dianggap benar JIKA dapat BERGUNA dan dapat menyelesaikan SUATU MASALAH. Inilah konsep pembatas kebenaran ilmiah. Anda ingin mengganggap metode ilmiah LEBIH VALID daripada metode circular reasoning teologis? Bukankah anda harus dengan teliti meneliti terlebih dahulu sebelum memutuskan bahwa circular reasoning teologis tidak valid?

Metode ilmiah memang sengaja dipilih masalahnya dan VARIABELNya supaya premis dan kesimpulan serta hipotesanya tidak terlalu "campur aduk" menurut istilah anda. Misalnya variabel A akan menyebabkan variabel B dalam kondisi Variabel C. Tetapi jika bertanya : CUKUPKAH hanya menguji variabel TERTENTU dalam lingkungan yang kompleks supaya kebenaran bisa tercapai? Akhirnya HASIL uji akan menjadi benar karena BISA BERMANFAAT dan BELUM DIBANTAH oleh percobaan dengan VARIABEL yang LAIN. Saya ingin bertanya : Bukankah ini membuat metode ilmiah semacam ilmu coba-coba variabel dan akhirnya terjatuh dalam circular reasoning yang sama seperti anda buat?

A : Mengapa anda percaya pada hasil ini?

B : Karena sudah diuji oleh metode ilmiah

A : Mengapa anda percaya pada metode ilmiah?

B : Karena itulah metode yang valid untuk menguji

A : bagaimana anda yakin itu metode yang valid?

B : karena bisa menghasilkan kesimpulan yang menyelesaikan masalah

A : Bagaimana anda bisa tahu bahwa itu menyelesaikan masalah?

B : karena sudah teruji oleh metode ilmiah

A : Lalu, apakah yang teruji metode ilmiah akan menyelesaikan masalah?

B : Benar, karena memang metode ilmiah itu valid

A : bagaimana anda tahu bisa valid?

B : karena hasilnya menyelesaikan masalah dan bermanfaat

A : Bagaimana anda tahu hasil/kesimpulan metode ilmiah akan menyelesaikan masalah?

B : karena metode ilmiah itu valid

Anda sudah dapat mengira bahwa percakapan ini akan mengarah kemana bukan? Contoh yang anda berikan di bawah ini TIDAK membuktikan bahwa circular reasoning yang DEMIKIAN adalah tidak valid. Bagaimana anda tahu tidak valid? Bagaimana anda tahu hal itu tidak menyelesaikan masalah atau tidak menjawab pertanyaan?

Q. Kenapa percaya Tuhan

A: Karena tertulis di alkitab.

Q: Kenapa anda percaya apa yang tertulis di alkitab? 

A: Karena alkitab adalah firman Tuhan.

Sedangkan contoh ANGIN yang anda berikan di atas, mengapa anda tidak terapkan HAL yang sama pada percakapan di atas? Haha...Anda membuat DEFINISI tentang ANGIN, namun anda tidak membuat kriteria yang sama terhadap percakapan di atas. Angin adalah udara yang bergerak. Udara yang bagaimana? Anda menguji dengan percobaan tentang PERGERAKAN udara. Mengapa anda tidak menguji percakapan tersebut dalam Alkitab dengan bukti internal Alkitab? Buktikanlah Alkitab BUKAN Firman Tuhan. Itulah metode ilmiah teologis.

Kalo itu terjadi, akhirnya semua hal bisa dikatakan benar alias tidak bisa dinyatakan salah. Semua agama, denominasi dan kelompok mana saja (baik agama / non-agama) bisa mengklaim kebenaran dengan ber-circular reasoning tanpa perlu benar2 menjawab. Akhirnya kebenaran yang dikatakan sebagai "sistem tertutup" malah benar2 tertutup untuk bisa diuji.,

Semua hal bisa dikatakan benar SAMPAI dia diuji dalam sistem kebenaran tertutup dan dibuktikan SALAH. Memang benar, semua kepercayaan dan agama MENGKLAIM kebenarannya sendiri dengan circular reasoning. Bukan hanya agama, bahkan sains dan SEGALA ilmu. Silakan agama Budha, hindu, Kristen, Kong Hu Cu, Islam mengklaim mereka mengajarkan kebenaran. Tidak ada masalah dengan itu. Semua kitab suci memang benar menurut penganut masing-masing. Masalahnya adalah apakah setiap ajaran/hasil/kesimpulan bisa bertahan dalam uji sistem kebenaran dan dibuktikan absurd? Inilah argumen Van Til tentang mendesak semua klaim kebenaran sampai mencapai absurditas dengan cara mereduksinya dalam konsistensi kebenaran. 

Metode ilmiah bukan tool dewa dalam mencapai kebenaran. Metode ilmiah justru dibatasi oleh kesepakatan banyak hal. Karena itu, saya menuliskan kata PARADIGMA dalam blog saya. Setiap teori sains dipengaruhi oleh paradigma sains yang disepakati ahli sains SENDIRI. Apakah dengan demikian kevalidan sains lebih tinggi dari kevalidan teologis?

PlainBread's picture

@Vant Variabel, Metode dan Batasan

Secara general saya setuju dengan anda soal circular reasoning. Kata "circular" di situ memang menjadi penghambat dalam PARADIGMA kita masing2 dalam memandang reasoning tersebut.

Apa yang anda katakan soal variabel, metode dan batasan malah membantu saya menjelaskan sudut pandang saya. Variabel dan batasan di dalam hal ilmiah memang HARUS ada, karena sifatnya membantu. Membantu apa? Membantu untuk mendapatkan kesimpulan yang diinginkan? Tentu idealnya tidak, walaupun banyak sekali kajian 'ilmiah' yang polanya malah backwards.

Dalam hal variabel, metode dan batasan, menurut saya science lebih maju selangkah daripada agama. Kenapa? 

1. Karena mereka berusaha jujur. Dalam artian, kalo variabel dan metodenya dan batasannya seperti ini, yah inilah yang akan dihasilkan. Pencantuman variabel, metode dan batasan secara tertulis akan memperlihatkan bahwa hasilnya memang akan seperti itu. Salah satu dari ketiga itu diubah, yah hasil bisa berubah.

 

Bandingkan dengan agama. Gak usah ngomongin agama yang lain, agama kita saja dulu. Variabelnya apa, metodenya apa, batasannya apa? Malah akhirnya seperti istilah anda, jadi absurd. Contoh:

"Mintalah maka akan diberikan, ketoklah maka akan dibukakan"

Variabel ini sederhana: Minta --> diberikan, ketok ---> dibukakan

Realitanya? Hasil bahkan bisa TIDAK terjadi dengan batasan variabel yang ada. Dari 100-1000 permintaan, berapa yang diberikan atau dikabulkan Tuhan?

Akhirnya orang menambah2 variabel atau batasan, misalnya dari ayat lain: Oh variabelnya itu harus ditambah satu "Plus kehendak Tuhan". Karena Yesus pernah bilang, kamu tidak pernah mendapatkan hasil doamu karena untuk memuaskan keinginan dirimu sendiri. Berarti harus keinginan Tuhan yang kita cari, bukan keinginan kita, supaya doa kita terkabul (bagaimana mungkin permohonan kita (baca: doa) BUKAN keinginan diri kita sendiri, melainkan keinginan/kehendak Tuhan? Kalo memang begitu, kenapa Tuhan gak berdoa bagi diriNya dan untuk diriNya? Toh itu doaNya alias permohonanNya).

Akhirnya variabel "minta", "ketok" mesti ditambah lagi dengan "kehendak Tuhan". Hasilnya? 100 % terkabulkah? Jawab sendiri.

 

2.  Variabel, metode, batasan, dibuat untuk menyatakan hasil yang konsisten, selama ada di dalam kerangka2 tersebut. Misalnya memasak air di ketinggian X di atas permukaan laut, dengan suhu air Y, tekanan udara M, dan suhu udara Z, maka akan menghasilkan air yang mendidih (100 C) pada waktu c detik setelah air tersebut dipanaskan.Begitu salah satu variabel berubah, output tentu akan berubah.

Bandingkan dengan agama. Tidak usah jauh2 sekali lagi, agama kita aja dulu:

- "Ujilah segala sesuatu"

Seringkali orang bilang, segala praktek mujizat dan kesembuhan yang dilakukan atas nama Tuhan harus divalidasi oleh ahli kesehatan. OK, masuk akal.

Tapi bagaimana dengan butanya seorang Saulus sewaktu dia melihat cahaya terang tersebut dan akhirnya membuat dia bertobat? Apakah dia menguji? Apakah itu benar datang dari Tuhan? Bagaimana dengan 12 murid Yesus, apakah mereka menguji bahwa Yesus itu benar Mesias? Kenapa malah langsung ketika dipanggil menjadi penjala manusia, langsung ikut Yesus begitu saja tanpa menguji siapa apa dan bagaimana Yesus? Bagaimana dengan Musa, yang melihat semak terbakar, dia tau dari mana kalo itu Tuhan? Apakah dia menguji? Abraham, diperintahkan pergi ke daerah lain oleh Tuhan, dia tau dari mana kalo itu benar Tuhan?

Kenyataannya yang terjadi pada saat itu (dalam kisah2 di alkitab) adalah percaya dulu baru menguji. Beriman dulu baru kumpulkan bukti2. Dan ini masih terjadi sampe sekarang. Tapi begitu orang2 kristen jaman sekarang melakukan hal yang sama, mereka malah kena protes oleh orang2 kristen lainnya: "Ujilah segala sesuatu!"  Bandingkan dengan ayat alkitab. Kalo tidak cocok, berarti bukan kehendak Tuhan. OK, variabel kebenaran Allah menurut umat kristen adalah alkitab. Bagamana dengan Saulus, 12 murid Yesus, Musa, Abraham, apakah mereka memakai variabel yang sama?

Kenapa banyak tokoh di alkitab yang langsung percaya begitu saja dan tidak menguji, tidak kena variabel yang sama yang dikenakan oleh orang2 kristen sekarang. Kenapa kita tidak cari tau siapa orang2 yang terlibat dalam kanonisasi? Kenapa mereka bisa terpilih, bagaimana kita yakin bahwa mereka dituntun Roh Kudus dalam mensortir kitab2 untuk kanonisasi alkitab? 

Konsistenkah kita?

 

Mengapa anda tidak menguji percakapan tersebut dalam Alkitab dengan bukti internal Alkitab? Buktikanlah Alkitab BUKAN Firman Tuhan. Itulah metode ilmiah teologis.

Karena scopenya beda. Udara, semua orang menghirupnya. Apapun istilah mereka, vocab mereka soal udara, betapa pun kandungan zat2 di dalam udara bisa berbeda2, udara tetap udara. Semua orang hidup mengalaminya. Itulah sebabnya science hanya punya variabel yang bisa ditakar dengan panca indera. Lewat dari panca indera, mereka nyerah, karena mereka mencoba jujur. Lewat dari panca indera, siapapun bisa bikin klaim tanpa bisa ada pengujian.

Alkitab adalah Firman Tuhan, ataukah Alkitab berisikan firman Tuhan? Kalo yang pertama, apakah itu berarti segala ucapan Iblis, Yudas Iskariot, yang tertulis di dalam alkitab, juga bisa diperhitungkan sebagai firman Tuhan?

 

Semua hal bisa dikatakan benar SAMPAI dia diuji dalam sistem kebenaran tertutup dan dibuktikan SALAH. Memang benar, semua kepercayaan dan agama MENGKLAIM kebenarannya sendiri dengan circular reasoning. Bukan hanya agama, bahkan sains dan SEGALA ilmu. Silakan agama Budha, hindu, Kristen, Kong Hu Cu, Islam mengklaim mereka mengajarkan kebenaran. Tidak ada masalah dengan itu. Semua kitab suci memang benar menurut penganut masing-masing. Masalahnya adalah apakah setiap ajaran/hasil/kesimpulan bisa bertahan dalam uji sistem kebenaran dan dibuktikan absurd? Inilah argumen Van Til tentang mendesak semua klaim kebenaran sampai mencapai absurditas dengan cara mereduksinya dalam konsistensi kebenaran.

 

Mengingatkan saya akan "pembuktian terbalik". Seorang tersangka koruptor harus membuktikan bahwa dia TIDAK menerima materi hasil KKN. Untungnya gak jadi diberlakukan. Karena kalo jadi diberlakukan, ratusan juta orang di Indonesia bisa diseret ke pengadilan dengan tuduhan KKN, dan harus membuktikan bahwa mereka TIDAK melakukan praktek KKN.

Apakah klaim kebenaran memang bisa didesak sampai mencapai absurditas? Bagaimana caranya? Siapa yang akan membuktikan? Apakah kalo tidak terbukti bersalah, lantas seseorang atau sebuah klaim tidak bisa dinyatakan sebagai benar?

Standar yang anda gunakan dalam mereduksi hal2 menjadi kebenaran sungguh tinggi sekali. Gambaran yang ada di kepala saya, anda mau menyaring semuanya, sehingga semuanya bisa didesak untuk mencapai titik absurd dan akhirnya terlihat mana yang tetap bisa bertahan. Bagaimana mendesaknya? Dengan mengujinya memakai "kebenaran yang lain"? "Kebenaran yang lain" sendiri apakah sudah didesak sampai mencapai absurditas? Apakah "kebenaran yang lain" bisa menjadi variabel atau batasan? Ataukah science saja yang harus menggunakan variabel, metode dan batasan, sementara agama bisa memakai apa saja untuk mengklaim kebenaran versi mereka?

 

 

 

The only difference between a sarcasm and a satire is the first one is usually done with anger while the later one is done with a smile - PlainBread

Vantillian's picture

PB, Absurditas metode ilmiah

PB, dari komentar saya di atas, saya tidak setuju dengan contoh yang anda kemukakan berkenaan dengan circular teologis dan metode ilmiah. Menurut saya, dua-duanya bergerak dalam alur pikir logika yang sama. Contoh yang anda berikan banyak dipengaruhi oleh asumsi dasar anda sendiri. Jikalau Alkitab harus dibuktikan oleh alkitab sendiri, maka itu bukan berarti tidak valid. Bukankah metode ilmiah juga memakai standar yang sama? Bukankah ILMU akhirnya dikelompokkan dengan tujuan agar setiap METODE ILMU dapat menguji BIDANGNYA masing-masing? Metode kuantitatif dan kualitatif dalam ilmu sosial tentu agak berbeda dengan ilmu alam. Tetapi meskipun ada "kelompok ilmu", SEMUA ILMU harus bergerak dalam POLA LOGIKA yang sama. Dalam arti pengujian apapun di dunia tidak bertentangan dengan rasionalitas manusia. Nah, mungkin harus didebatkan lagi apakah ciri dan standar yang rasional itu bukan? PB, bukankah semua pembuktian adalah pembuktian circular? Filsafat, Sains dan Agama TETAP melewati dan harus diuji dengan sistem yang begini.

Apa masud saya menuliskan kalimat di atas? Supaya untuk membuktikan bahwa PENILAIAN anda terhadap pertanyaan dan jawaban teologis yang anda anggap circular itu SAMA dengan metode ilmiah yang anda agung-agungkan itu. Kesimpulannya anda TIDAK BISA menilai valid tidak validnya hanya berdasarkan POLA CIRCULARNYA, karena semua argumen ilmu di dunia ini bergerak dalam logika yang sama. Anda harus bergerak dalam menguji dengan PRESUPOSISI sistem tertutup.

Baiklah, kita membahas sedikit pertanyaan yang anda ajukan. Anda tulis :

Bandingkan dengan agama. Gak usah ngomongin agama yang lain, agama kita saja dulu. Variabelnya apa, metodenya apa, batasannya apa? Malah akhirnya seperti istilah anda, jadi absurd. Contoh:

"Mintalah maka akan diberikan, ketoklah maka akan dibukakan"

Variabel ini sederhana: Minta --> diberikan, ketok ---> dibukakan

Realitanya? Hasil bahkan bisa TIDAK terjadi dengan batasan variabel yang ada. Dari 100-1000 permintaan, berapa yang diberikan atau dikabulkan Tuhan?

Akhirnya orang menambah2 variabel atau batasan, misalnya dari ayat lain: Oh variabelnya itu harus ditambah satu "Plus kehendak Tuhan"

Akhirnya variabel "minta", "ketok" mesti ditambah lagi dengan "kehendak Tuhan". Hasilnya? 100 % terkabulkah? Jawab sendiri.

Setiap logika bidang ilmu mempunyai KONSEP PEMBATAS sendiri. Nah, kalau anda memberikan contoh seperti di atas, apakah anda yakin tidak ada metode kuantitatif yang bisa memberikan hasil seperti metode ilmiah? Nah, berdasarkan Standar kebenaran yang anda pegang dari metode ilmiah, yakni dapat menyelesaikan masalah/memberikan jawaban, apakah anda sudah yakin bahwa TIDAK MUNGKIN ada jawaban tentang itu? Jika jawaban itu absurd menurut anda, bukankah itu juga absurd dalam metode ilmiah? Saya ganti variabelnya :

Bandingkan dengan METODE ILMIAH. Gak usah ngomongin METODE yang lain, METODE ILMIAH saja dulu. Variabelnya apa, metodenya apa, batasannya apa? Malah akhirnya seperti istilah anda, jadi absurd. Contoh:

"Angin adalah udara yang bergerak"

Variabel ini sederhana: Angin dan pergerakan udara

Realitanya? Hasil bahkan bisa TIDAK terjadi dengan batasan variabel yang ada. Dari 100-1000 PERGERAKAN MOLEKUL dan PARTIKEL UDARA yang ada, berapa YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PERGERAKAN UDARA yang DAPAT DISEBUT ANGIN?

Belum lagi ditambah dengan varibel : "PLUS DI RUANG ANGKASA?

Nah, saya ingin bertanya : SEBERAPA anda yakin 100% Angin itu pasti digerakkan oleh SEMUA Molekul yang dapat disebut pergerakan UDARA tersebut? Kalau anda tidak yakin, mengapa menilai dengan STANDAR yang SAMA terhadap contoh teologis yang anda kemukakan? Bukankah itu namanya METODE ABSURD juga?

PB, mungkin anda akan beralasan bahwa itu sudah dibuktikan, bahwa itu ada percobaannya. Nah, sekarang yang ingin saya tanyakan : mengapa anda TIDAK BERLAKUKAN hal yang sama terhadap pertanyaan teologis? Anda katakan : pernyataan teologis tidak dapat dibuktikan atau hasilnya tidak valid. Itu adalah asumsi anda. Karena Standar kevalidan anda adalah bisa menyelesaikan masalah atau memberikan jawaban. Bagi saya, jawaban dalam pertanyaan yang anda ajukan ADA JAWABANNYa dan bisa diuji. Mungkin variabel uji dan PENERAPAN hasil tidak akan sama. Namun itu BUKAN berarti hasil jawaban teologis selalu absurd. Itu hanya PRASANGKA anda.

Point kedua adalah soal KONSISTENSI rumusan dan metode ilmiah. Ketika suatu percobaan dilakukan beruang-ulang dan mendapat hasil yang sama, itu namanya konsisten. Sehingga hasilnya jadi akurat dan kesimpulannya dianggap benar. Nah, pertanyaannya : Darimana konsistensi itu berasal? Bukankah itu berasal dari dalam sistem metode ilmiah itu sendiri?

Percobaan dengan hasil yang sama disebut konsisten. Percobaan dengan hasil yang berbeda tidak konsisten sehingga menjadi tidak benar. PB, coba anda pikirkan baik-baik. Jika Satu percobaan A mendapat DUA hasil B dan C, dimana C merupakan penyimpangan yang terjadi dari hasil B, menurut anda apakah hasil B pasti sudah memenuhi kriteria konsisten? Mengapa kita bisa yakin bahwa C adalah penyimpangan? Darimana kita tahu B tidak akan salah? Kita mengatakan kita akan uji. Namun hasil uji menyatakan B dan C bertolak belakang. Darimana kita tahu yang mana benar? B atau C?

Pada akhirnya kita akan mengujinya dengan sifat PRAGMATIS ilmu, yaitu mana yang LEBIH BERGUNA dan LEBIH MENYELESAIKAN MASALAH. Lalu mana yang mempunyai EFEK NEGATIF paling kecil. Lalu konsistensi percobaannya dimana? Apakah akhirnya hasilnya konsisten atau tidak? Hehe, bukankah konsisten atau tidak konsisten itu HANYA BERLAKU bagi metodenya?

Coba perhatikan CONTOH yang anda berikan. Yang anda nilai adalah HASIL dari circular teologis. Lalu anda menarik kesimpulan berdasarkan asumsi bahwa HASIL circular teologis PASTI harus sama dengan HASIL dari metode ilmiah. Bagi Saulus, bertemu dengan Yesus adalah sudah hasilnya. Apakah dia menguji atau tidak, bukankah itu adalah hasil yang menyelesaikan masalahnya? Mengapa kita harus menuntut bahwa peristiwa itu harus melewati suatu pengujian metode ilmiah seperti asumsi anda?

Anda nulis :Kenyataannya yang terjadi pada saat itu (dalam kisah2 di alkitab) adalah percaya dulu baru menguji. Beriman dulu baru kumpulkan bukti2. Dan ini masih terjadi sampe sekarang. Tapi begitu orang2 kristen jaman sekarang melakukan hal yang sama, mereka malah kena protes oleh orang2 kristen lainnya: "Ujilah segala sesuatu!"  Bandingkan dengan ayat alkitab. Kalo tidak cocok, berarti bukan kehendak Tuhan. OK, variabel kebenaran Allah menurut umat kristen adalah alkitab. Bagamana dengan Saulus, 12 murid Yesus, Musa, Abraham, apakah mereka memakai variabel yang sama?

Beriman dulu baru menguji atau menguji dulu baru beriman adalah dua hal yang selalu dialami oleh setiap orang. Ketika Paulus berargumentasi, Paulus berulang kali menegaskan KOHERENSI dengan fakta yang ada. Misalnya mengenai kebangkitan Kristus. Lalu apakah ada masalah dengan beriman dulu baru menguji? Bukankah Iman kristen adalah iman yang rasional juga? Paulus, 12 murid Yesus dan Musa, Abraham juga memakai variabel yang sama, yakni Firman Yang Hidup. Jika anda membaca Alkitab, bukankah terdapat banyak kasus ketidak percayaan Musa, Abraham dan murid Yesus sehingga membuat mereka menguji?

Beriman baru menguji atau sebaliknya adalah PROSES LOGIKA yang dipakai oleh SEMUA ILMU. Itulah POLA CIRCULAR dari sistem kebenaran. Kebenaran menuntut anda untuk percaya. Apakah ada percaya dulu baru beriman? Jika kebenaran sebagai BUKTI sudah dihadirkan dalam pengetahuan dan pengalaman kita, maka kita dituntut untuk percaya. Dalam percaya terletak pengujian. Inilah kekonsistenan kekristenan. Kebenaran selalu berada di dalam konsistensinya sendiri, karena itu sifat konsistensi adalah sifat yang selalu diuji dan menguji. Mengapa beriman baru menguji harus dilawankan dengan menguji baru beriman? Bukankah kedua-duanya adalah CIRCULAR KONSISTENSI kebenaran?

Mari kita tinjau metode ilmiah. Ketika suatu MASALAH muncul, kita akan memakai metode ilmiah untuk mengujinya. Atau ketika ada suatu SEBAB-AKIBAT yang harus diteliti. Namun masalahnya adalah kenapa anda yakin itu adalah SUATU MASALAH? Apakah keyakinan anda membuat masalah itu menjadi SUATU masalah yang harus diteliti? Anda mungkin menyatakan bahwa masalah itu menyebabkan AKIBAT NEGATIF/POSITIF pada manusia. Darimana anda tahu dan yakin itu menyebabkan akibat demikian? Anda mengatakan : karena itulah HARUS diuji dulu. Kembali lagi : Kenapa anda YAKIN bahwa MASALAH itu harus diuji dan BUKAN masalah yang lain? Kenapa anda YAKIN bahwa masalah itu akan menyebabkan efek? Anda mengatakan: Kan ada efek negatifnya yang bisa dilihat. Nah, inilah yang harus anda lihat juga pada pernyataan teologis yang anda pertanyakan. Anda belum membuktikan bahwa circular teologis itu absurd, karena anda CUMA MEMPERTANYAKANNYA. Bukankah itu sama dengan metode pengujian ilmiah? Anda lihat bukan, inilah pola Circular dari beriman dan menguji, menguji dan beriman. Pola yang sama bukan?

Nah, PB...semua pertanyaan anda saya belum menjawab, namun saya memberikan kerangka dasar pemikiran saya dulu. Karena kalau saya jawab, anda akan bertanya pertanyaan yang lain dengan variabel yang lain. Mengapa Alkitab adalah Firman Tuhan? karena Alkitab menyatakan demikian. Yang anda harus buktikan adalah apakah memang Alkitab BUKAN Firman Tuhan, bukan mempertanyakan KERANGKA metodologis pola circularnya. Saya sudah buktikan bahwa metode ilmiah juga bergerak dalam circular yang sama, sedangkan itu adalah asumsi anda untuk menilai pernyataan teologis bukan?

Mengingatkan saya akan "pembuktian terbalik". Seorang tersangka koruptor harus membuktikan bahwa dia TIDAK menerima materi hasil KKN. Untungnya gak jadi diberlakukan. Karena kalo jadi diberlakukan, ratusan juta orang di Indonesia bisa diseret ke pengadilan dengan tuduhan KKN, dan harus membuktikan bahwa mereka TIDAK melakukan praktek KKN.

PB, anda harus beriman dulu seseorang bersalah baru anda bisa mmberlakukan pembuktian terbalik. Anda harus mulai dengan suatu fakta TERSANGKA, baru yakin bahwa seseorang itu bersalah sampai dibuktikan dia tidak bersalah. Metode circular bukan metode pembuktian terbalik secara negatif saja, namun juga pembuktian terbalik positif. Ini yang saya tuliskan :

Semua hal bisa dikatakan benar SAMPAI dia diuji dalam sistem kebenaran tertutup dan dibuktikan SALAH.

Jadi, silahkan KLAIM bahwa pernyataan SAYA adalah benar, namun pernyataan anda tidak akan menjadi benar hanya karena KLAIM anda. Saya tidak menamakan pembuktian terbalik, namun saya menamakannya pembuktian sirkular.

Standar yang saya gunakan memang tinggi, bukankah metode ilmiah juga bersifat MEREDUKSI? Bukankah ini adalah inti ilmu modernisme ala Descartes dengan sistem Cartesiannya? Semua maksud saya membandingkan maupun menyejajarkan pola sains dan teologis adalah untuk menunjukkan bahwa metode reduksi absurditas selalu digunakan dalam konsistensi kebenaran. Bukankah kebenaran itu akan membuat absurd ketidakbenaran?

Bagaimana mengujinya? Apakah mengujinya dengan kebenaran yang lain? Tidak, kita mengujinya dengan sistem kebenaran transedent/ideal. Inilah presuposisi kita. Sebagai kristen, kita mengujinya dengan Alkitab. Lalu apakah yang akan menguji Alkitab? Ya, alkitab itu sendiri. Lalu dengan standar apa? dengan STANDAR yang TIDAK MENG-ABSURDITAS-KAN sistemnya sendiri.

PlainBread's picture

@Vantil All arguments are circular

Itu memang benar, semua argumen adalah circular. Kenapa? Karena premis2 yang disediakan akan memberikan kesimpulan di mana di dalam kesimpulan tersebut mengandung premis2 yang ada sebelumnya.

Tapi bukan itu Van yang saya maksud sebagai circular reasoning yang merupakan logical fallacy. Saya bukan guru yang baik, karena tidak mampu menjelaskan hal sederhana ini.

Mungkin saya harus memberikan contoh sederhana lagi:

argumen: Vantil adalah manusia

argumen: Semua manusia akan mati

kesimpulan: Vantil akan mati

Ini kesimpulan sederhana, dan benar menurut saya. Tapi tetap memang harus circular alias kesimpulan mengandung premis2 yang ada.

Contoh circular reasoning sebagai fallacy:

argumen: Kucing berwarna hitam

argumen: Sepatu saya berwarna hitam

kesimpulan: Sepatu saya adalah kucing

Berputar juga bukan? Anda tentu tau flawnya ada di mana.

Begitu juga dengan reasoning teologis yang sering dipake:

argumen: Yesus adalah Tuhan

argumen: Dikatakan di dalam alkitab

kesimpulan: Karena dikatakan di dalam alkitab, jadi benar bahwa Yesus adalah Tuhan

Alkitab dan Yesus di situ bisa diganti apa saja, diganti Alquran, Tripitaka, Alloh, Budha, Vantillan, dan apa saja, dan bisa diklaim juga sebagai kebenaran.

Bagaimana bisa membangun sebuah kesimpulan yang benar jika argumen2 yang membangun kesimpulan tersebut belum teruji kebenarannya? 

 

Coba perhatikan CONTOH yang anda berikan. Yang anda nilai adalah HASIL dari circular teologis. Lalu anda menarik kesimpulan berdasarkan asumsi bahwa HASIL circular teologis PASTI harus sama dengan HASIL dari metode ilmiah. Bagi Saulus, bertemu dengan Yesus adalah sudah hasilnya. Apakah dia menguji atau tidak, bukankah itu adalah hasil yang menyelesaikan masalahnya? Mengapa kita harus menuntut bahwa peristiwa itu harus melewati suatu pengujian metode ilmiah seperti asumsi anda?

 

Hehehe. Anda menyangka bahwa saya menyangka kalo metode ilmiah itu cuma untuk mencari hasil atau menyelesaikan masalah/mencari jawaban.

Bukan begitu.

Apa yang dialami Saulus (supranatural event) juga dialami oleh banyak orang, misalnya Benny Hinn, Daud Tony, Ellen G White, DAN juga ribuan orang non-kristen misalnya orang2 Islam, Budha, Hindhu, yang mengalami mujizat.

Permasalahannya bagaimana anda tahu bahwa apa yang dialami Saulus itu benar, sementara apa yang dialami oleh Daud Tony, Benny Hinn, atau ribuan orang non-kristen adalah salah/keliru? Atau anda menganggap apa yang semua orang alami sebagai mujizat juga merupakan kebenaran? Bukankah metode yang mereka alami dan lakukan juga sama dengan Saulus, yaitu mengalami dulu, percaya dulu, beriman dulu, baru mencari legitimasi atas pengalaman mereka.

Kenapa kita memakai standar dari alkitab sendiri, yaitu "uji dulu" kepada orang2 lain yang berada di luar denominasi kita? Misalnya ke Benny Hinn, ke Daud Tony. Tapi apakah kita menguji juga Stephen Tong, Luther? Apakah kita menguji Yesus, Saulus? Akhirnya jadi double standard. Saulus tidak menguji pengalamannya, langsung percaya bahwa itu Tuhan. Tapi kenapa dia menyuruh untuk menguji segala sesuatu? Dia menguji kebangkitan Yesus? Bagaimana caranya? Dia tidak ada di sana? Memakai internal witness? Agama lain juga punya banyak internal witness. Kenapa kita percaya Yesus, gak percaya Muhammad?

 

Beriman dulu baru menguji atau menguji dulu baru beriman adalah dua hal yang selalu dialami oleh setiap orang. Ketika Paulus berargumentasi, Paulus berulang kali menegaskan KOHERENSI dengan fakta yang ada. Misalnya mengenai kebangkitan Kristus. Lalu apakah ada masalah dengan beriman dulu baru menguji? Bukankah Iman kristen adalah iman yang rasional juga? Paulus, 12 murid Yesus dan Musa, Abraham juga memakai variabel yang sama, yakni Firman Yang Hidup. Jika anda membaca Alkitab, bukankah terdapat banyak kasus ketidak percayaan Musa, Abraham dan murid Yesus sehingga membuat mereka menguji?

Ada masalah, Van. Saya sengaja kasih contoh Musa, Abraham, Yesus, 12 rasul, karena mereka memang tercatat di alkitab sebagai pihak yang diYAKINI orang2 kristen mainstream sebagai pihak yang benar makanya anda membela tokoh2 tersebut mati2an.

 

Coba dengan metode yang sama, tapi orang2nya saya ganti, misalnya Ellen G White, Tony Daud, Benny Hinn, Stephen Tong, Gilbert Lumoindong. Silakan anda baca buku2 mereka (mungkin sudah), dan anda juga bisa liat bahwa metodenya juga sama: Beriman dulu baru menguji. Alias: Sudah dapat kesimpulannya dulu baru cari data2nya. Praktek seperti ini walaupun juga banyak di ranah pengetahuan, tapi melanggar etika ranah itu sendiri.

Akhirnya apa? Ada yang mengikut Tony Daud, ada yang mengikut Ellen G White, ada yang mengikut Stephen Tong. 

Iman itu akhirnya menjadi subyektif. Orang bisa mengklaim apa saja, bahkan bisa membuat supporting arguments untuk mendukung iman mereka.

Saya pernah baca sebuah artikel yang menyimpulkan merokok itu lebih sehat daripada makan es krim, atau sebuah artikel yang menyimpulkan kenapa Islam adalah agama yang benar beserta bukti2nya. Tapi apa karena begitu adanya jadi merokok memang lebih sehat daripada makan es krim, atau Islam adalah agama yang benar?

 

Mari kita tinjau metode ilmiah. Ketika suatu MASALAH muncul, kita akan memakai metode ilmiah untuk mengujinya. Atau ketika ada suatu SEBAB-AKIBAT yang harus diteliti. Namun masalahnya adalah kenapa anda yakin itu adalah SUATU MASALAH? Apakah keyakinan anda membuat masalah itu menjadi SUATU masalah yang harus diteliti? Anda mungkin menyatakan bahwa masalah itu menyebabkan AKIBAT NEGATIF/POSITIF pada manusia. Darimana anda tahu dan yakin itu menyebabkan akibat demikian? Anda mengatakan : karena itulah HARUS diuji dulu. Kembali lagi : Kenapa anda YAKIN bahwa MASALAH itu harus diuji dan BUKAN masalah yang lain? Kenapa anda YAKIN bahwa masalah itu akan menyebabkan efek? Anda mengatakan: Kan ada efek negatifnya yang bisa dilihat. Nah, inilah yang harus anda lihat juga pada pernyataan teologis yang anda pertanyakan. Anda belum membuktikan bahwa circular teologis itu absurd, karena anda CUMA MEMPERTANYAKANNYA. Bukankah itu sama dengan metode pengujian ilmiah? Anda lihat bukan, inilah pola Circular dari beriman dan menguji, menguji dan beriman. Pola yang sama bukan?

Kenapa saya yakin itu adalah masalah? Karena panca indera, Van. Apakah kalo orang datang ke anda lalu gebukin anda, buat anda itu bukan masalah? Anda merasa sakit, kulit memar, muka bonyok, dan itu anda rasakan lewat panca indera anda, itulah masalah.

Polanya tentu tidak sama dengan teologis. Teologis sudah membuat kesimpulan dahulu, teologis bilang "Iman adalah sesuatu yang tidak kelihatan, bukti dari yang kita harapkan". Kata kuncinya adalah "Tidak kelihatan". Di luar panca indera.

Karena tidak kelihatan, akhirnya orang bisa bikin klaim apa saja. Mau percaya Yesus, Budha, Muhammad, Sai Baba, Energy Kosmis, Dewa Ra, yah itulah iman.

Pendekatan yang anda pakai untuk membuktikan bahwa metode teologis adalah sama dengan metode ilmiah, sehingga menjadi klaim kebenaran, akhirnya bisa jadi senjata makan tuan karena metode2 teologis tersebut juga dipakai oleh agama2 lain.

 

 

The only difference between a sarcasm and a satire is the first one is usually done with anger while the later one is done with a smile - PlainBread

agamaitucandu's picture

@PlainBread: tautologia?

Plainbread,  apakah circular reasoning yang Anda maksud itu berhubungan dengan tautology?

Argumen-argumen yang bersifat tautologis contohnya tidak jauh berbeda dengan yang Anda sebut di atas, misalnya " Yesus sungguh-sungguh bangkit, karena Alkitab bilang begitu."

Jika kemudian Alkitabnya yang dipertanyakan, lalu kita akan berhadapan dengan argumen-argumen yang ideologis...

 

__________________

.

PlainBread's picture

@Agama tautology

Iya kurang lebih seperti itu.

josia_sembiring's picture

Referensi, Standar Acuan, Kerangka inersia

Manusia memang memerlukan standar kebenaran (kerangka inersia).

Kalau di Science sangat jelas misalmya :

Konstanta Gravitasi, Kecepatan Cahaya

Kedua standar diatas berlaku universal, tidak hanya di BUMI tapi juga di planet-planet lain.

Bagaimana dengan ALKITAB? ALKITAB hanyalah tulisan-tulisan manusia yang sifatnya subjektif di zamannya. MUSA dengan 5 kitabnya, Daud dengan mazamurnya, Salomo dengan amsalnya. Masing2 penulis mengklaim tulisannya berisi Firman TUHAN.

Sekarang muncul pertanyaan :

Besaran apa yang kita pakai untuk mengkategorikan kalau itu benar FIRMAN TUHAN atau tidak?

Besaran yang kita pakai tentunya harus kita sepakati sejak awal dan melalui penelitian. Untuk konstanta gravitasi aja, ilmuwan penemunya harus melakukan penelitian lebih dalam. Setelah menemukan besaran konstanta itu, maka besaran itu bisa dipakai disemua kasus di alam semesta dan tidak terbatas pada BUMI.

Sekarang, apa besaran yang harus dipakai?

Objek penelitian kita adalah TUHAN. Telah kita sepakati bahwa TUHAN adalah pencipta Alam Semesta. TUHAN pasti punya kuasa tak terbatas karena bisa menciptakan alam semesta "tanpa batas".

Jadi Besaran yang kita punya cuma 2 yaitu :

1. TUHAN adalah pribadi/personal yang menciptakan alam semesta

2. TUHAN memiliki kuasa tak terbatas (Mahakuasa)

Sementara TUHAN sendiri adalah sebuah kata untuk merepresentasikan Figure dari pribadi yang maha kuasa dan pencipta alam semesta.

Sama seperti manusia memiliki kata yang dipakai untuk merepresentasikan  tiap individu manusia.

Nah, mari kita manfaatkan besaran diatas untuk meneliti TUHAN dalam tiap kitab suci.

Salam Hormat

 

Josia Sembiring

Vantillian's picture

PB, back to basic...

PB, supaya komentar saya ada ISI-nya dan supaya anda tidak perlu membaca dua kali, saya akan tuliskan dengan singkat saja. Koreksi saya jika saya salah menyimpulkan.

Anda memakai contoh pernyataan teologis dan anda menyebut sendiri circular reasoning...Lalu anda lawankan dengan metode ilmiah.

Saya sudah buktikan bahwa metode ilmiah juga circular reasoning, lalu anda setuju. Pertanyaan saya : Mengapa mengganggap pertanyaan teologis yang anda kutip itu tidak valid? Lalu anda bahkan menuntut HASIL atau bukti, contohnya adalah keberhasilan doa..Haha...PB, bukankah saya juga sudah buktikan bahwa anda TIDAK AKAN PERNAH yakin 100% terhadap hasil metode ilmiah? Lalu kenapa berlaku tidak fair terhadap pernyataan teologis?

Alkitab adalah Firman Allah karena Alkitab memang menyatakannya demikian. Silakan dibuktikan. Jangan ngomong itu circular reasoning karena itu tidak valid. Anda tidak fair karena metode ilmiah juga circular reasoning...Itu saja sudah membuat BASIS argumen anda berguguran. 

Saya menyimpulkan standar yang anda pakai adalah menyelesaikan masalah/mencari jawaban karena memang itu dari komentar anda. Sekarang anda TAMBAHKAN yang lain : Pakai alat indera.

Nah, sekarang pertanyaan saya : Apakah standar karena bisa DIPERSEPSI oleh indera BERHAK menghakimi yang tidak dapat dipersepsi oleh alat indera? Apakah yang dipersepsi indera itu baru bisa dikatakan sudah memenuhi kriteria kebenaran karena bisa dipakai metode ilmiah?

Anda menyatakan : Kenapa saya yakin itu adalah masalah? Karena panca indera, Van. Apakah kalo orang datang ke anda lalu gebukin anda, buat anda itu bukan masalah? Anda merasa sakit, kulit memar, muka bonyok, dan itu anda rasakan lewat panca indera anda, itulah masalah.

Ya, sama PB...Kalau ada orang yang datang dengan HATI tidak damai sejahtera lalu curhat, apakah anda mengganggap TIDAK ADA MASALAH juga? Haha...Bagi saya itu juga masalah. Jadi yang bisa dipersepsi oleh indera adalah masalah demikian juga yang tidak dapat dipersepsi oleh indera adalah masalah.

Lalu apakah yang panca indera itu OBJEKTIF sementara yang non-panca indera itu SUBJEKTIF? Haha...Metode Ilmiah itu objektif, demikian juga pernyataan teologis. Sama-sama objektif dan sama-sama subjektif. Tinggal anda mau pakai kriteria obejktif-subjektif yang mana. Mengapa demikian? Karena sama-sama memakai ALUR POLA LOGIKA yang sama...Apakah anda pikir para saintis berpikir dengan OTAK dan para teolog berpikir dengan DENGKUL? Apakah anda pikir para saintis berpikir dengan MENGUJI sementara para teolog berpikir dengan BERIMAN? Hoho..Itu terlalu dangkal kawan...

Pola sains dan teologis sama....Tetapi hasil dan penerapannya BEDA...Karena Konsep pembatas beda....Dan variabel beda..... Saya sudah katakan : Silakan KLAIM kebenaran masing-masing...Budha, Hindu, Islam, Kristen semuanya BENAR menurut pandangan umatnya masing2....Silakan...Lalu bagaimana mengujinya? Saya tuliskan lagi : Dengan Standar yang tidak membuat absurd dirinya sendiri...Bagaimana caranya?

Hanya Kebenaran yang menyatakan diriNya sendiri. karena itu, bagi orang kristen mengapa kesaksian Roh dan Firman itu penting...Mengapa penginjilan itu penting? Tujuannya bukan untuk menyatakan anda salah, saya benar. Namun tujuannya adalah supaya Kebenaran itu akan menyatakan diriNya dalam hati manusia. Anda mau bilang itu subjektif, standarnya darimana? Apakah dari metode ilmiah? Metode ilmiah juga subjektif hasilnya...Standar kebenaran sains dan teologis adalah sama-sama ingin mencapai kebenaran IDEAL/Transedent...

NB : Soal circular reasoning fallacy yang anda kemukakan, TIDAK MEMBUKTIKAN bahwa circular reasoning SELALU fallacy...Fallacy bisa terjadi dalam alur pola logika...Itu kesalahan sesat pikir...Pola sains dan teologis sama-sama bisa fallacy....Silakan buktikan sendiri...

Pertanyaan penting dari anda : Bagaimana bisa membangun sebuah kesimpulan yang benar jika argumen2 yang membangun kesimpulan tersebut belum teruji kebenarannya? 

Kesimpulan yang benar dari BENTUK atau ISI ? BENTUK kesimpulan yang benar itu tidak fallacy, sedangkan ISI kesimpulan itu konsisten dan koheren dengan fakta. Standar apa yang anda pakai? Logika Formal dan Logika Dialektika. Ada Logika Bentuk dan Logika Material...

Bagaimana menguji argumen? Ujilah argumen dengan verifikasi absurditas argumen sampai argumen itu teruji.. Premis dapat diuji dengan KERANGKA premis yang lain...Contoh : baju itu hitam. Ada banyak hal yang dapat diuji disini. Apakah itu benar2 baju? Apakah itu artinya hitam? Apakah baju itu benar2 hitam? ( koherensi)

Pendekatan yang anda pakai untuk membuktikan bahwa metode teologis adalah sama dengan metode ilmiah, sehingga menjadi klaim kebenaran, akhirnya bisa jadi senjata makan tuan karena metode2 teologis tersebut juga dipakai oleh agama2 lain.

Memang kenyataannya begitu PB...Setiap agama akan menyatakan dirinya paling benar...Setiap agama akan memakai metode teologis yang sama...Tanpa saya setujui atau tekankan, setiap agama akan memakai metode yang sama kok...Itu adalah suatu kewajaran logika.. Silakan saja semua keyakinan atau bahkan ilmu apapun mengklaim itu, karena sampai kiamatpun tetap akan begitu. Tugas kita adalah mempersiapkan jalan bagi Kebenaran dinyatakan.. baik dengan apologetika, penginjilan maupun kesaksian hidup...

Semoga komentar saya bisa membantu menjelaskan dengan arti yang dapat dimengerti...

dennis santoso a.k.a nis's picture

dahulu, sekarang, dan... selamanya[?]

Kita sering memandang tradisi katolik yang akhirnya membuat gereja Katolik menjadi gereja yang menyimpang dari kebenaran. Namun menyalahkan gereja Katolik karena memegang tradisi yang kuat itu sama seperti melihat selumbar di mata Katolik tetapi gajah di pelupuk mata sendiri tidak terlihat. Setiap gereja mempunyai tradisi yang dipegang secara ketat. Bahkan gereja yang mengklaim terlepas dari tradisi yang “membosankan” akan membuat paradigma tradisi sendiri.

apa yang DULU dialami oleh gereja katolik, SAAT INI sedang diulangi oleh gereja2 non-katolik. dengan mengatas-namakan tradisi yang dibuat sendiri, menganggap semua aliran yang tidak setuju dengannya sebagai sesat.

history repeat itself... memang ga ada yang baru di dunia ini.

kutukupret berbuludomba's picture

@Dennis, PB, Van: menyoal sola sciptura dan matinya pengarang

denis santoso :history repeat itself... memang ga ada yang baru di dunia ini.

Katolik memandang Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium sebagai "otoritas yang sama berwibawa". Sementara Protestan memandang Alkitab adalah otoritas tertinggi.

Saya mulai mikir-mikir, ada kemungkinan Luther mendapat gagasan sola scriptura dari mengamati tetangga sebelah. Dengan menjadikan KItab Suci sebagai otoritas tertinggi (seperti tetangga), maka pusat keagamaan boleh runtuh tapi bisa juga bangun lagi di tempat lain. Lagipula, pada jaman itu kan negara-negara bangsa sedang bermunculan. Suatu keagamaan tanpa otoritas terpusat seperti Protestan atau tetangga sebelah tentu lebih cocok untuk negara-bangsa modern. Seperti di tetangga sebelah pun bisa muncul kesultanan-kesultanan dengan pusat-pusat keagamaannya sendiri.

Bila Katolik sekarang bisa membuktikan lewat arkeologi bahwa Petrus betulan pernah berada di Roma dan mendirikan pusat gereja, apakah akan ada pengaruhnya dengan Sola Scriptura sekarang? Saya kira tidak, karena sola scriptura sudah melakukan tugas sejarahnya, yaitu menyokong berdirinya negara-bangsa modern.

Lalu apa peran Sola Scriptura kontemporer? Saya kira bukan untuk berurusan dengan Katolik. Kalau Katolik berhasil membuktikan bahwa kuburan Petrus betul-betul di vatikan, ya bagus. Saya anggap itu kado akhir jaman bagi Katolik.

Jadi apa dong peran Sola Scriptura? Pertama untuk melahirkan teologia-teologia baru, dan sekaligus Kedua untuk 'merapikan' teologia-teologia yang bermunculan beraneka ragam itu.

Di sini saya setuju dengan Hai Hai, bahwa pembacaan Alkitab itu terus-menerus sepanjang jaman. Saya hobi baca Asterik. Edisi yang sama bisa saya baca berkali-kali sepanjang hidup saya. Dan seringkali saya mendapat hal baru tiap kali membacanya lagi dan lagi. Buku Asteriknya tetap sama, tapi sayanya berubah, sehingga saya mendapat hal baru dari teks yang sama.

By the death of the Author, bukankah teks menjadi merdeka dan maknanya tidak tergantung dari otoritas di luar dirinya (entah itu magisterium ataupun roh las vegas, minjem istilahnya siapa itu)??? Tambahan lagi, the authors of the bibble were all dead, right?? (Kata temen kos saya: kristen oh kristen, tuhannya aja mati....)

 

PlainBread's picture

@Kutu Opini

Saya mulai mikir-mikir, ada kemungkinan Luther mendapat gagasan sola scriptura dari mengamati tetangga sebelah. Dengan menjadikan KItab Suci sebagai otoritas tertinggi (seperti tetangga), maka pusat keagamaan boleh runtuh tapi bisa juga bangun lagi di tempat lain. Lagipula, pada jaman itu kan negara-negara bangsa sedang bermunculan. Suatu keagamaan tanpa otoritas terpusat seperti Protestan atau tetangga sebelah tentu lebih cocok untuk negara-bangsa modern. Seperti di tetangga sebelah pun bisa muncul kesultanan-kesultanan dengan pusat-pusat keagamaannya sendiri.

 

Boleh aja sih berpendapat gak ada yang ngelarang. Pendapat Hai-Hai di bawah soal Agustinus Hippo itu patut anda pertimbangkan, karena bikin opini anda hancur berantakan.

Tapi dari kalimat2 anda sendii saja sebenarnya sudah keliatan bahwa it's merely an opinition. Gereja yang besar aja dilawan, kok mau niru yang kecil alias tetangga sebelah? Tema reformasinya sendiri balik ke hal yang benar di dalam kekristenan, kok malah mo jeplak agama lain? Jadi kemungkinan seperti anda bilang "Luther belajar dari tetangga sebelah" saya anggap sebagai pendapat tanpa fakta aja. Not to mention soal "pusat keagamaan" seperti anda bilang. Tetangga sebelah itu punya kiblat yang sama sampe sekarang, gak seperti yang anda sangka. Jadi asumsi anda mengenai pusat keagamaan malah akhirnya jadi blur.

Pendapat anda ini mirip dengan cerita Yesus pergi ke India. Buat saya itu kurang seru. Yesus pergi ke planet Uranus harusnya lebih seru. Toh sama2 gak ada fakta pendukung yang kuat, kenapa gak sekalian ciptain yang heboh sekalian.

 

The only difference between a sarcasm and a satire is the first one is usually done with anger while the later one is done with a smile - PlainBread

hai hai's picture

@Kutukupret, Berpikir Tanpa Belajar ...

Saya mulai mikir-mikir, ada kemungkinan Luther mendapat gagasan sola scriptura dari mengamati tetangga sebelah. Dengan menjadikan KItab Suci sebagai otoritas tertinggi (seperti tetangga), maka pusat keagamaan boleh runtuh tapi bisa juga bangun lagi di tempat lain. Lagipula, pada jaman itu kan negara-negara bangsa sedang bermunculan. Suatu keagamaan tanpa otoritas terpusat seperti Protestan atau tetangga sebelah tentu lebih cocok untuk negara-bangsa modern. Seperti di tetangga sebelah pun bisa muncul kesultanan-kesultanan dengan pusat-pusat keagamaannya sendiri.

Kutukupret, apakah anda masih asing dengan ujaran Kongzi ini?

Belajar tanpa berpikir, sia-sia. Berpikir tanpa belajar, berbahaya.

Saudara kutukupret, ketika anda MIKIR, jangan lupa BELAJAR. Sola Scriptura sudah diajarkan oleh Agustinus dari Hippo (354-430). Martin Luther sama sekali tidak mendapat gagasan namun MENEGAKKAN ajaran Sola Scriptura.

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

kutukupret berbuludomba's picture

@Hai Hai

Maaf saya sudah merepotkan Anda dengan mengajukan komentar berupa opini yg asal ngomong tanpa dipikir.

Meskipun omongan saya ngawur, mudah-mudahan tetap bisa jadi kontribusi yang positif, misalnya:  Anda jadi menyebut soal Agustinus dari Hippo. Saya semula tidak tau soal itu, karena Anda bilang, maka saya jadi tahu. Saya jadi belajar soal itu, dan mungkin ada orang lain yang juga membaca dan jadi tahu. Jadi, sebuah komentar tolol memberi peluang bagi terungkapnya suatu pengetahuan. Mudah-mudahan ini tidak termasuk hal yang sia-sia.

Sekarang saya mulai mikir-mikir lagi... (mudah-mudahan tidak terlalu tolol) Pada masa Yesus hidup, orang Yahudi pun tidak homogen. Di antara mereka ada orang-orang tertentu yang cuma mengakui 5 kitab Musa saja sebagai Kitab Suci sementara kitab2 lain bukan kitab suci. Berarti paham semacam sola scriptura pun sudah ada sebelum kekristenan.

*semacam itu maksudnya tidak persis sama.

hai hai's picture

@kutukupret, Komentar Tolol

kutukupret, tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, itulah yang membuat kita sok tahu. Itu sebabnya saya sepakat dengan SF bahwa Alkitab harus dipahami beramai-ramai. Yang terpenting di sini adalah jangan memberi komentar dengan prasangka bahwa orang lain pasti SALAH dan kita PASTI benar, orang lain pasti SESAT kita pasti Benar.

Tidak tahu bukan dosa. Namun kekeh jumekeh untuk tidak tahu alias tidak mau tahu ketika diberitahu, itulah yang saya maksudkan dengan prilaku tolol.

Mengakui kesalahan setelah tahu yang benar adalah sikap ksatria dan bijaksana.

Anda benar, Sola Scriptura itu sesungguhnya sudah ada sejak purbakala. Namun Agustinuslah yang membuat istilah sola scriptura dan getol menegakkannya.

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

__________________

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

okulasi's picture

@pb:ayo lanjutkan diskusinya

sdr plain bread yang terkasih,

ketika saya membaca beberapa tulisan dan komen anda saya beranggapan bahwa dalam hal blog vantil ini anda sepaham dengan dia . Dan sampai saat ini pun saya masih berharap anda sedang melakukan pengujian terhadap pandangan vantil ini berdasar pemahaman anda yang menurut saya sama .menurut saya adalah asyik ketika sebuah diskusi dilatari oleh 2 hal yang sebenarnya mempunyai pandangan sama,cuman karena memang belum final maka keduanya akan melakukan serangan serangan yang sebenarnya searah,karena semakin kita mendalami sesuatu maka kita akan tahu dimana titik tik yang seharusnya dilakukan pengujian. 

    ayo lanjutkan pengujiannya,saya tak terus nyimak...atau jangan jangan gak mudeng yang diomongin si vantil...hahaha.(Gojeg =mode on).

 

Jikalau ada kata -kata yang yang kurang berkenan itu murni karena kebodohan saya .JBU

PlainBread's picture

@Okulasi Circular

Mungkin nanti saya lanjutkan. Saya sudah baca respons vantil yang terakhir. Saya tidak nangkap maksud dan isi tulisannya. Entah karena saya membacanya sekilas, atau karena maknanya terlalu dalam sehingga saya perlu membaca berulang kali, atau mungkin karena tidak ada isinya.

Sementara yang saya lihat ternyata diskusi saya dengan dia malah bertendensi circular. Hehehe. Berputar2 memang bikin pusing.

Sementara saya mau nulis email kepada lembaga bahasa Inggris soal keberatan saya perihal pemakaian kata 'circular' di "circular reasoning" karena tampaknya tidak cocok diaplikasikan. Seperti kata 'free' pada "free will" yang ternyata tidak bermakna sama dengan kata free itu sendiri, free will yang tidak free, circular reasoning yang tidak circular. Jangan ditanggapi serius, saya hanya memberantaki anda (terjemahan bebas dari "I'm messing with you") alias cuma becanda :-)

 

 

The only difference between a sarcasm and a satire is the first one is usually done with anger while the later one is done with a smile - PlainBread

tonypaulo's picture

@PB ini pendekatan filsafat terhadap teologi?

@PB memang upaya pendekatan filsafat khususnya mazhab Eksistensialisme, senang membahas TUHAN daro sudut rasio.....

dan sepengetahuan saya belum ada yang bisa menemukan TUHAN ada dengan rasio, makanya filsfuf2 seperti Kierkegaard, Levinas, Aquinas, melompat ke iman, dan berusaha menjelaskan lewat rasio keimanan

sedang istilah circular reasoning, tidak termasuk dalam rasio keimanan

dan memang sampai maranatha tiba, dipaksakan pun tidak akan ada titik temu, karena berangkat dari titik yang berbeda

 

:)

GBU