Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

TETAPLAH KERJAKAN KESELAMATANMU

arharahadian's picture

Sebagai orang percaya dimana setelah kita menyatakan keimanan bahwa Yesus adalah Tuhan dan juruselamat yang dengan pernyataan iman seperti itu maka dosa-dosa kita telah terhapuskan (ditebus), apakah selanjutnya dalam kehidupan kita dapat berbuat semau kita?. Sebegitu murahkah arti “penebusan” dosa itu? Tuhan yang dengan kasih karunia-Nya telah memberikan “keselamatan” kepada manusia dengan cuma-cuma bukan berarti selanjutnya manusia yang sudah di selamatkan itu dapat berbuat sekehendak diri, namun sebagai orang percaya wajib bagi kita untuk mengerjakan keselamatan itu sampai akhir.  Jikalau kita lalai melakukan hal ini, kita akan kehilangan keselamatan yang telah diberikan kepada kita. Hakekatnya kita tidak mengerjakan keselamatan dengan usaha manusia saja, tetapi dengan kasih karunia Allah dan kuasa Roh yang diberikan kepada kita. Agar mengerjakan keselamatan kita, kita harus menentang dosa dan mengikuti keinginan Roh Kudus di dalam hati kita. Hal ini meliputi usaha yang terus-menerus untuk menggunakan setiap cara yang ditetapkan Allah untuk mengalahkan kejahatan dan menyatakan kehidupan Kristus. Demikianlah, mengerjakan keselamatan kita berpusat pada pentingnya pengudusan. Kita mengerjakan keselamatan kita dengan senantiasa mendekatkan diri kepada Kristus dan menerima kuasa-Nya untuk berkehendak dan berbuat menurut kerelaan-Nya. Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir” (Flp 2:12.

 

Penekanan yang pertama dari pengerjaan pasca diselamatkan dikatakan oleh Rasul Paulus adalah sikap hati yang taat, artinya kita mematuhi setiap perintah dan mengikuti akan setiap kehendak Tuhan. Alkitab telah memberikan beberapa contoh dari orang-orang yang taat dari awal, pertengahan hingga sampai akhir kesudahan. Begitupula orang-orang yang pada awalnya taat hingga pertengahan namun gagal pada akhirnya karena melanggar dari ketaatan tersebut, begitupula orang-orang yang dari awal, pertengahan dan akhirnya tidak taat, bagaimana proses awal mereka. Bagaimana respon mereka pada awal penerimaan perintah dan kehendak Tuhan semua itu sebagaian besar di kisahkan dalam Alkitab sebagai pedoman bagi kita dalam menjalani kehidupan. Walaupun apa yang disampaikan di Alkitab adalah untuk zamannya dan sesuai dengan kebudayaan pada masanya namun prinsip-prinsipnya tetap sama dan relevan sampai akhir zaman.  Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari” (Pkh 1:9).

 

Contoh dari ketaatan ini dapat kita lihat pada pribadi Yusuf dan Maria manakala mereka mendapatkan perintah dari Tuhan dan bagaimana mereka melaksanakan kehendak Tuhan.

 

 

18 Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri. 19  Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.” (Mat 1:18-19).  

 

 

Pada saat itu lazim di kaum Yahudi sebelum sepasang suami-istri melangsungkan perkawinan mereka melaksanakan dahulu yang namanya pertunangan, yang hukum pertunangan itu sendiri hampir sama kuatnya dengan pernikahan, dimana calon suami mempunyai hak atas calon istrinya namun hak itu sendiri bukanlah hak dimana mereka boleh berhubungan badan, namun calon isrtinya itu sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Dan apabila akan terjadi pembatalan pertunangan maka pihak pria harus memberikan surat cerai untuk melepaskan ikatan pertunangan itu. Dalam hal ini Yusuf, setelah mengetahui bahwa calon istrinya telah hamil ia berkehendak menceraikannya. Namun ia hendak melakukannya secara diam-diam sebab ia faham betul hukuman apa yang akan di terima calon istrinya apabila tersiar kabar bahwa Maria telah hamil sebelum nikah, sebab dalam hukum Taurat telah tertulis hukuman bagi “penzinah” yaitu di hukum rajam (dilempar batu ) sampai mati,

 

 

 Ul 22:23 “ Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan — jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia,” Ul 22:24  “maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar kepintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia tidak berteriak-teriak,dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa isteri sesamanya manusia. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu”.

 

 

Namun, Yusuf mengurungkan niatnya setelah diberitahukan oleh malaikat Tuhan bahwa anak yang di kandung calon istrinya adalah anak dari Roh Kudus. Yusuf memberikan respon yang di benarkan oleh Tuhan yaitu taat dan patuh akan perintah Tuhan dan melaksanakan kehendak Tuhan. Dalam hal ini apabila kita diposisikan menjadi Yusuf apakah kita langsung percaya akan penberitaan dari sebuah mimpi? Dan apakah pada saat mengetahui calon istri kita telah hamil “diluar nikah”, bagaimana sikap kta? Menanggapi ataukah bereaksi? Ibarat sebuah batang kayu korek api, ia mempunyai kepala namun apabila terkena gesekan maka akan menimbulkan percikan api dan membakar batang kayu api tersebut. Artinya tanggapi permasalahan dengan respon baik bukannya kita bereaksi dengan hati yang sempit.  

 

 

Disinilah kita membutuhkan kedewasaan rohani dalam menanggapi setiap masalah yang timbul, reaksi hanya akan menimbulkan bencana baik untuk dimasa kini maupun dimasa yang akan datang. Begitupula kita dapat lihat bagaimana ketaatan seorang Maria yang harus menanggung segala resiko mengikuti kehendak Tuhan, dimana pastilah dia akan mendapatkan cemoohan, hinaan bahkan mungkin intimidasi dimana, mungkin orang akan sulit mempercayai dengan akal pikiran dan logika manusia dimana ada seorang perawan hamil tanpa “persetubuhan”. Ia pasti akan di cap pembohong besar dan pastinya ia bakal di cap penzinah, dapatkah kita tangkap bagaimana penderitaan yang akan diterima oleh seorang Maria?.

 Kata Maria: "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Lalu malaikat itu meninggalkan dia.(Luk 1:38). 

 

 

 Inilah sebuah jawaban yang sangat luarbiasa, Maria menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah dan mempercayai berita-Nya. Dengan sukarela ia menerima baik kehormatan maupun celaan yang akan dialaminya karena menjadi ibu dari Anak yang kudus ini. Para wanita muda di dalam gereja seharusnya mengikuti teladan Maria dalam hal kesucian seksual, kasih pada Allah, iman kepada Firman-Nya, dan kesediaan untuk taat kepada Roh Kudus.

 

 

 

Yang kedua, kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar. Semua anak Tuhan harus mempunyai ketakutan kudus yang gentar di hadapan Firman Allah dan menyebabkan mereka berpaling dari segala kejahatan. Ketakutan (Yun. _phobos_) akan Tuhan bukanlah sekadar "kepercayaan yang disertai rasa hormat," seperti yang sering kali ditegaskan, tetapi meliputi rasa hormat terhadap kuasa, kekudusan, dan pembalasan yang adil dari Allah, dan rasa takut akan berbuat dosa terhadap Dia lalu menghadapi akibat-akibatnya. Ini bukanlah ketakutan yang bersifat membinasakan, melainkan ketakutan yang mengendalikan dan memulihkan yang menuntun kepada berkat Allah dan hidup dekat dengan Dia, kepada kesucian moral, dan kepada hidup dan keselamatan.

 

 

Yes 66:2 “ Bukankah tangan-Ku yang membuat semuanya ini, sehingga semuanya ini terjadi? demikianlah firman TUHAN. Tetapi kepada orang inilah Aku memandang: kepada orang yang tertindas dan patah semangatnya dan yang gentar kepada firman-Ku”.

 

 

Tuhan tidak membutuhkan kekayaan kita ataupun kita bangunkan rumah untuk-Nya dengan segala kemegahannya dan Ia pun tidak membutuhkan pertolongan kita bahkan sebenarnya Ia tidak membutuhkan kita namun sebaliknya kita-lah yang membutuhkan-Nya. Tuhan begitu mengasihi kepada orang-orang yang hatinya senantiasa merendah baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia. Orang-orang yang rendah hati dan dengan kesungguhan hati mengikuti firman Tuhan dan senantiasa dalam hatinya mempunyai rasa takut dan gentar kepada Tuhan, ibarat petir dan guruh yang pertanda turunnya hujan tentunya petir dan guruh itu membuat hati manusia takut dan gentar padahal petir dan guruh itu mendatangkan rahmat berupa hujan. Seperti itulah kita berpengharapan akan kasih karunia Tuhan dan kita senantiasa “berharap” pengabulan permohonan dengan hati yang takut dan gentar akan hasil dari permohonan kita. Selaku orang percaya kita harus menanamkan perasaan takut dan gentar ini, lhatlah bagaimana Daud mempraktekkan sikap penghormatan kepada Tuhan diman ia takut dan gentar akan Tuhan walaupun ia pada akhirnya berbuat dosa juga namun ia tetap mempunyai integritas kepada Tuhan karena dengan jujur ia akui semua kesalahannya kepada Tuhan dengan penyesalan yang begitu dalam dan tentunya dengan takut dan gentar. Dan bagaimana pula Ayub yang tadinya kurang percaya, namun ahirnya ia dapat menyaksikan keajaiban dan keperkasaan Tuhan dan ia nyatakan ungkapan hatinya kepada Tuhan dengan takut dan gentar.

 

 

 Ams 3:7 “Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;  Ams 8:13  “Takut akan TUHAN ialah membenci kejahatan; aku benci kepada kesombongan, kecongkakan, tingkah laku yang jahat, dan mulut penuh tipu muslihat”.

 

 

 

Ketiga pengudusan, makna dasar dari akar kata Ibrani gdsy antara lain: (i)’menyendirikan’, (ii)’cemerlang’. Arti pertama mungkin menekankan kekudusan atau pengudusan dalam arti posisi, status, nisbah, dalam mana kata itu diterjemahkan ‘terpotong’, ‘dipisahkan’, ‘disendirikan untuk penggunaan khusus’, ‘diserahkan untuk’, atau’disucikan’, ‘dianggap keramat atau suci lawan dari yang biasa, tercemar atau sekuler’. Arti kedua mungkin menekankan penggunaannya berkaitan dengan keadaan, atau proses, yang mengarah ke pemikiran tentang perubahan batin yang terjadi berangsur-angsur, yang menghasilkan kemurnian, kebenaran moral, dan pemikiran-pemikiran suci yang menyatakan diri dalam perbuatan-perbuatan lahiriah yang baik dan menurut kehendak Tuhan.

 

 

 

Pengudusan menurut Paulus, menyangkut ihwal perubahan moral dan spiritual orang percaya yang sudah dibenarkan, yang sudah dilahirkan kembali, dikaruniai hidup baru oleh Tuhan. Kehendak Tuhan ialah pengudusan kita (1Tes 4:3). Dan mengalami dikuduskan secara keseluruhan ialah menjadi serupa dengan citra Kristus, dan dengan demikian merasakan dalam pengalaman arti menjadi citra Allah. Kristus adalah isi dan norma hidup yang dikuduskan: hidup kebangkitan-Nya diciptakan kembali dalam diri orang percaya sementara ia bertumbuh di dalam anugerah dan mencerminkan kemuliaan Tuhannya. Dalam pengalaman yang terus-menerus perihal pembebasan dari hukum secara harfiah, jiwa manusia dibebaskan oleh Roh Kudus (2Kor 3:17,18). Roh Kudus adalah penggerak dalam pengudusan manusia, tapi Ia bekerja melalui firman kebenaran dan doa iman, dan melalui persekutuan orang percaya (Ef 5:26) sementara mereka menguji diri sendiri dalam terang kasih Roh dan kekudusan yang tidak boleh tidak harus ada (Ibr 12:14). Iman, yang dilahirkan oleh Roh, menggenggam sarana pengudusan itu.

 

 

Sebagaimana pembenaran berarti pembebasan dari hukuman dosa, demikian pula pengudusan berarti pembebasan dari pencemaran, kekurangan dan kuasa dosa. Tapi dalamnya dan luasnya pembebasan dalam arti yang terakhir itu masih dipersoalkan. Doa permohonan supaya Tuhan menguduskan orang percaya sepenuhnya, sehingga jiwa, roh dan tubuh mereka terpelihara tanpa cacat sampai kedatangan Kristus, diikuti oleh pernyataan bahwa ‘Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya’ (1Tes 5:23,24). Ini menimbulkan tiga pertanyaan penting.

 

 

a.        Apakah Tuhan melakukan pengudusan menyeluruh seketika?

 

 

Apakah pengudusan oleh iman berarti menerima pengudusan menyeluruh sebagai anugerah sama seperti pembenaran, sehingga orang percaya itu sekarang juga telah dibuat menjadi kudus, masuk untuk selama-lamanya ke dalam kekudusan yang nyata dan praktis adalah suatu keadaan? Beberapa orang mengemukakan bahwa dalam pengalaman krisis yang mengikuti pertobatan, kemanusiaan yang lama disalibkan sekali untuk selamanya, dan akar dosa dicabut atau prinsip dosa ditiadakan. Beberapa orang melangkah lebih jauh dan menekankan kebutuhan akan penerimaan dan perbuatan karunia-karunia Roh (terutama karunia lidah) sebagai bukti pekerjaan Roh itu.

 

 

b.       Apakah Tuhan melakukan pengudusan pada masa hidup orang percaya?

 

 

Di kalangan mereka yang menekankan ciri krisis dari pengalaman pengudusan maupun mereka yang memandangnya lebih sebagai suatu proses, terdapat orang-orang yang menyatakan diri sudah mencapai derajat tinggi dari hidup yang dikuduskan itu. Dengan menggarisbawahi perintah seperti ‘haruslah kamu sempurna’ (Mat 5:48), dan tidak menafsirkan ‘kesempurnaan’ di sini dalam arti ‘kedewasaan’, maka mereka mengatakan bahwa kasih yang sempurna dapat dicapai dalam kehidupan kini di dunia ini.

 

 

Tapi tuntutan-tuntutan yang tinggi dalam arti ‘kesempurnaan tanpa dosa’, biasanya mengecilkan baik bobot dosa maupun standar kehidupan moral yang dituntut. Dosa dirumuskan sebagai ‘pelanggaran sukarela terhadap suatu hukum yang diketahui’ (Wesley) ketimbang ‘setiap kekurangan dalam penyesuaian dengan atau pelanggaran atas hukum Tuhan’ (Westminster Shorter Catechism). Rumusan terakhir mencakup keadaan kita dan dosa-dosa akibat kelalaian maupun yang dilakukan terbuka dan sengaja. Pendapat lain, dengan menyetujui bahwa kekudusan yang tak terputuskan dan kesempurnaan tanpa cela itu tidaklah mungkin, menyatakan bahwa kendatipun demikian adalah mungkin mempunyai dengan sempurna motivasi yang sempurna, ialah kasih.

 

 

c.       Apakah Tuhan akan melakukan pengudusan tanpa aktivitas orang percaya?

 

 

Mereka yang mengecilkan bobot dosa dan standar kekudusan yang dituntut Tuhan, berada dalam bahaya memberi penekanan yang tidak tepat pada usaha manusia dalam pengudusan. Tapi ada ekstrim yang berlawanan juga, yaitu yang meletakkan keseluruhan tugas pengudusan melulu pada Tuhan. Tuhan diharapkan akan menghasilkan orang kudus dengan segera, atau mengisi seorang Kristen secara berangsur-angsur dengan anugerah atau Roh. Ini memerosotkan manusia menjadi hanya robot tanpa sikap moral, sehingga sebenarnya hanya melahirkan pengudusan tak bermoral, suatu gagasan yang kontradiktif. Mereka yang membela watak manusia menyangkal cara kerja Roh Kudus yang tidak berharkat pribadi sedemikian itu. Mereka juga hati-hati terhadap tuntutan bahwa Roh bekerja langsung melalui proses pikiran manusia secara tak disadari, ketimbang disadari.

 

 

Orang percaya tidak tahu betapa susahnya perjuangan melawan dosa ( Rm 7; 8; Gal 5), tapi harus sadar bahwa pengudusan terjadi tidak hanya oleh usahanya sendiri melawan kecenderungan-kecenderungan jahat yang ada pada dirinya sendiri. Ada perkembangan dalam penggenapan moral, tapi ada juga sesuatu yang secara misterius melakukan pengudusan di dalam dirinya. Bahkan hal itu bukanlah kerjasama belaka, dalam  mana Roh dan orang percaya masing-masing menyumbang sesuatu. Tindakan itu dapat disebut baik karya Roh maupun karya orang percaya dalam rahasia anugerah. Tuhan, Roh itu, bekerja melalui pengakuan yang setia akan hukum kebenaran dan tanggapan orang percaya dalam kasih. Dan semuanya menghasilkan kedewasaan spiritual yang terungkap dalam menerapkan hukum kasih terhadap sesama. Penggenapan pengudusan bagi orang percaya, yang oleh anugerah iman dalam karya Kristus, oleh Roh ‘menguduskan diri sendiri’ (1Yoh 3:3), dinyatakan dengan jaminan kepastian: ‘Kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diriNya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya’ (1Yoh 3:2).

 

 

Keempat, kerjakan keselamatan dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantah, dalam menjalani kehidupan ini kebanyakan dari kita baik secara disadari maupun tidak terkadang senantiasa mengeluh pada berbagai hal yang sedang terjadi. Kita terkadang tanpa sadar berkata mengapa hari panas sekali begitu terik atau mengapa hari ini hujan atau coba saja angin tidak kencang tentu hari begitu indah untuk dinikmati. Secara tidak langsung kita sedang menggerutu dan berkeluh kesah kepada Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu yang baik bagi manusia, namun kita manusia selalu saja mengeluh, mengapa? Karena apa yang ada dalam pikiran kita tidak akan menjangkau apa yang Tuhan pikirkan. Apa yang kita lihat  tidak akan pernah dapat menyelami begitu besar dan dalamnya pengetahuan Tuhan, namun apabila kita lihat dengan manusia batin yang suci maka akan tampak segala kebaikan Tuhan. Artinya kita harus mempunyai kedewasaan dalam rohani agar dapat melihat wujud karya Tuhan yang penuh kebaikan, bertumbuh dalam kedewasaan rohani ini memerlukan kedisiplinan dalam diri kita dan ketaatan pada diri kita untuk mematuhi akan pengajaran dari Tuhan.

 

 

Mereka itu orang-orang yang menggerutu dan mengeluh tentang nasibnya, hidup menuruti hawa nafsunya, tetapi mulut mereka mengeluarkan perkataan-perkataan yang bukan-bukan dan mereka menjilat orang untuk mendapat keuntungan. (Yud 1:16).

 

 

 Waspadalah akan diri kita agar tidak terjadi dalam dosa hanya karena mengeluh dan menggerutu, hati dan pikiran kita harus senantiasa fokus pada Tuhan dan jangan biarkan condong pada hal-hal yang fana dan pada akhirnya membuat diri kita tergelincir. Seperti halnya contoh dalam Alkitab dimana bangsa Israel dibawah naungan Tuhan, dipimpin langsung keluar dari tanah mesir menuju tanah perjanjian. Namun karena kebanyakan dari mereka selalu mengeluh dan menggerutu pada akhirnya membuat perjalanan mereka menjadi sangat lama hingga mencapai 40 tahun padahal apabila mereka tidak mengeluh dan menggerutu perjalanan itu akan cepat sampai dan mereka dapat menikmati kehidupan yang baik di tanah perjanjian. Dan apa yang mereka lakukan akhirnya memberikan hasil yang buruk pada masa depan mereka, penggerutu itupun tidak mendapatkan hasil yang baik dan mereka tidak pernah sampai di tanah perjanjian. Oleh karena itu bagi kita orang percaya yang ingin kehidupan masa depan kita lebih baik maka lakukan hidup yang penuh dengan kebenaran dari Tuhan dan kerjakan segala seuatu dengan tulus ikhlas, jangan pernah menggerutu apalagi berbantahan dengan Tuhan. Hari esok kita adalah ditentukan oleh pekerjaan kita di masa kini, ingin hari esok menjadi hari yang terbaik bagi kehidupan kita maka hiduplah senantiasa intim dengan Tuhan, dengarkan suara-Nya dan ikuti apa kehendak-Nya. Hidup kita akan lebih baik dan indah apabila senantiasa dekat dengan-Nya dan kasihilah Tuhan kita dengan segenap jiwa, akal budi dan kekuatan kita. Dalam hal ini hiduplah kita dengan penuh kebaikan dan kebenaran-Nya, dan hiduplah kita dengan baik secara vertikal maupun horisontal, artinya hiduplah penuh kebenaran dan integritas baik dengan Tuhan maupun dengan sesama kita.

 

 

 

====Selamat Bertumbuh====

 

 

By: AR Rahadian/www.Arsy Imanuel.blogspot.com, in april 2013

 

Sumber                                : Alkitab, Kamus Alkitab (WRF. Browning), Modul Pemuridan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

__________________

Thank and GBU

Www.Arsyimanuel.blogspot.com