Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

SAYANG ANAK, SAYANG ANAK

Purnomo's picture

                Siang tadi di pelataran halaman depan sebuah SD Swasta aku membagikan santunan kepada 10 orang. Sekolah libur karena hari Minggu seluruh siswa dari kelas 1 sampai 6 piknik ke Jogja dan pulang pk.01.00 malam. Tetapi ortunya datang karena sudah aku kirimi sms.

                Seorang bapak yang anaknya siswa kelas 6 bertanya, "Nanti anakku waktu smp masih bisa dibantu ndak, boss?"

 


              "SMP-nya di sini?"
              "Ya."
              "Masih bisa, tetapi ada syaratnya, yaitu hadir di persekutuan Jumat," jawabku. "Nanti bulan Juni aku jelaskan cara menghitung besarnya santunan."

                 Setelah itu seorang ibu bertanya kepadaku, "Anak saya nanti SMP-nya tidak di sini, masih bisa dibantu?" Dia menyebut nama SMP itu yang lokasinya dekat pantai.
              "Kok jauh sekali, Bu?"
              "Anaknya kepingin sekolah di sana. Kalau di sini, bosan, 'kan sudah 6 tahun sekolah di sini. Saya sudah mendaftarkannya. Kena uang gedung 500 ribu. SPP-nya murah, cuma 150 rb." Di SD ini SPP-nya 135 rb.

            
"Lalu uang bis sekolahnya berapa?" aku tahu sekolah itu menyediakan banyak bis sekolah untuk menyapu seluruh kota.
             "250 rb," jawabnya.


             "Jadi setiap bulan 400 rb? Mengapa tidak di SMP dekat rumah yang di seberang pasar? SPP-nya cuma 180 rb, tak perlu uang transport. Kalau 400 rb apa tidak memberatkan biaya hidup keluarga Ibu?"
            "Tapi anaknya kepingin ke sana."

              Dia usaha laundry kampung. Kadang uang jasanya tertunda dia terima. Maklumlah, orang kampung juga gemar berhutang seperti orang kaya. Suaminya tidak bekerja. Sekeluarga tinggal di rumah liliput.

            "Ya bagaimana lagi ya Bu. Kalau demi menyenangkan anak Ibu mau bekerja lebih berat, ya silakan. Tetapi saya tidak bisa ikut membantu," jawabku.

 

              Menyayangi anak apa harus selalu menuruti setiap keinginan anak? Anda bisa mengatakan tidak, tetapi bagi kaum marginal lebih banyak yang mengatakan 'harus menuruti' karena mereka kuatir kehilangan (kasih) anaknya.

             Tahun ajaran ini dari 124 orang yang kami santuni, kembali saya kehilangan 1 siswa kelas 5 SD. Dia mogok sekolah walau sudah dilawat gurunya, dibujuk-bujuk tetap saja menolak. Malas sekolah, katanya. Tahun ajaran sebelumnya 1 siswi kelas 6 SD mendadak mogok sekolah karena kepingin pegang uang sendiri dengan bekerja. Karena tidak ada guru sekolahnya yang mau menyambanginya, saya yang datangi rumahnya. Apa kata ibunya pada akhir pembicaraan? "Apa saya harus menghajar anak saya kalau inginnya begitu?" tanyanya dengan suara tinggi. Bwahahahaha, suka-sukamulah, itu ‘kan anakmu bukan anakku, gerutuku dalam hati.

               "Sekolah itu memang membosankan. Tetapi seperti apa pun sekolah itu, kamu harus sekolah karena untuk bekerja kertas ijasah sekolah diperlukan, walaupun ilmunya hanya sedikit terpakai," begitu kataku kepada seorang pemuda yang jadi gitaris di sebuah persekutuan doa di tepi Sungai Banjirkanal.

                 Dia minta aku mencarikan pekerjaan, tetapi ijasah SD saja dia tak punya. Apa ortunya miskin sekali sehingga tak mampu menyekolahkannya? Ortunya memang miskin tetapi dia bisa masuk ke SD Katolik karena sekolah menggratisinya. Tetapi waktu kelas 3 SD dia bosan ke sekolah dan lebih suka setiap hari kumpul-kumpul dengan teman-temannya di jalan.

                "Saat kamu tidak sekolah, bagaimana reaksi ayah ibumu? Kamu dimarahi?" tanyaku.
                "Tidak. Mereka tidak meributkannya," jawabnya.

 

                   Sayang anak, sayang anak, jangan lukai jiwa anakmu agar kelak kamu bisa melukai jiwamu sendiri.

 

** Semarang, Senin 23 Mei 2016.

** gambar diambil dengan google sekedar ilustrasi.