Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Profesor yang Membakar Buku

y-control's picture
Kata Demi Kata Mengantarkan fantasi, Habis Sudah
Bait Demi Bait Pemicu Anestesi, Hangus Sudah
- Efek Rumah Kaca - Jangan Bakar Buku
 
"Where they have burned books,
they will end in burning human beings."
Heinrich Heine
 
Buku, lembaran kertas dengan cetakan huruf-huruf dan dijilid menjadi satu. Sejarah, rekaman peristiwa nyata yang pernah terjadi di masa lalu. Profesor, sebuah jabatan tertinggi dalam bidang akademik. Api, hasil reaksi kimia antara oksigen dan zat pemicu tertentu yang sifatnya bisa mengubah sesuatu menjadi abu. Komunisme, sebuah teori tentang masyarakat yang mencita-citakan adanya sistem di mana semua benda produksi dimiliki bersama dan setiap masyarakat memberi dan mendapatkan sesuatu berdasarkan kebutuhannya. Jika digabungkan menjadi satu, kelima kata kunci di atas kemudian menghasilkan suatu peristiwa aktual yang terjadi di Surabaya pada 2 September 2009 kemarin. Pembakaran buku sejarah yang didukung oleh seorang profesor sejarah dengan alasan penulisnya orang komunis.
 
Profesor itu adalah Aminuddin Kasdi, profesor sejarah yang juga guru besar di Unesa (Universitas Negeri Surabaya - dulu IKIP Surabaya). Bersama kelompok gabungan yang menamakan diri Forum Anti Komunis, mereka mempersoalkan tulisan CEO Jawa Pos, Dahlan Iskan tentang eks Gubernur Militer PKI, Soemarsono. Dalam tulisan yang dimuat dalam 3 seri (tgl 9-11 Agustus 2009), Dahlan mengisahkan testimoni Soemarsono tentang berbagai kejadian sejarah dengan fokus pada sejarah pertempuran di Surabaya yang puncaknya terjadi pada tanggal 10 November 1945. 
 
Secara pribadi, saya tidak begitu suka dengan sepak terjang Dahlan Iskan dan gaya pemberitaan Jawa Pos. Demikian pula, tulisan 3 seri itu pun saya nilai kurang menggigit. Jika tidak ditambahi informasi dari Dahlan bahwa Soemarsono adalah eks pejabat PKI waktu peristiwa Madiun 1948 dan bahwa keluarga Dahlan sendiri banyak menjadi korban dari peristiwa itu, rasanya tidak ada sama sekali clue bahwa Soemarsono ini adalah orang komunis, yang mencita-citakan sebuah masyarakat tanpa kelas. Yang menonjol adalah bahwa Soemarsono menitikberatkan perjuangan rakyat Surabaya melawan Sekutu sebagai perjuangan kolektif, keberhasilan bersama. Meskipun nada tulisan Dahlan justru membuat saya merasa Soemarsono hanya sedang basa-basi atau merendahkan diri di atas gunung, tapi sepertinya itu gara-gara yang menulis.
 
Tuduhan Forum Anti Komunis dan Aminuddin Kasdi adalah: tulisan itu mencitrakan Soemarsono sebagai orang yang tidak bersalah dalam peristiwa Madiun 1948, atau istilahnya: memutihkan. Saya baca beberapa kali tulisan Dahlan Iskan tersebut, tertulis bahwa kesaksian Soemarsono tentang peristiwa itu baru akan dimuat beberapa hari selanjutnya. Memang sangat aneh. Tulisan belum dibaca, bahkan belum dipublikasikan, kok sudah merasa keberatan. Namun, demonstrasi menentang komunis tentu saja bukan berita baru dan bukan hal aneh di Indonesia ini. Seperti peristiwa yang sudah-sudah, yang dimaksud dengan demo anti komunis di Indonesia memang sering rancu. Termasuk dalam mengenali mana buku yang mendukung komunis dan mana yang sebaliknya. Sweeping buku beberapa waktu lalu, yang termasuk mensweeping buku karya Frans Magnis Suseno yang mengkritik Marxisme, adalah buktinya. Sweeping buku pelajaran yang tidak memuat kata PKI di belakang istilah G30S, juga bukti lain lagi. Pada zaman akhir Orba, bahkan sebuah balon mainan berbentuk palu pernah dipermasalahkan. Konon, masalahnya adalah karena jika balon palu itu dipukulkan maka akan berbunyi "arit!" Phobia orang Indonesia terhadap komunis memang sudah mencapai tahap konyol.
 
Puncak dari kekonyolan atau lebih tepatnya kebodohan (ada juga yang menyebut kebiadaban) Forum Anti Komunis dan Aminuddin Kasdi adalah ketika mereka kemudian melakukan pembakaran buku Revolusi Agustus karya Soemarsono. Memang ini bukan yang pertama. Beberapa tahun lalu pun, walikota Depok, Nurmahmudi Ismail pernah memimpin aksi sweeping dan pembakaran buku pelajaran sejarah yang hanya menyebut peristiwa terbunuhnya 7 jenderal di Lubang Buaya sebagai G30S, bukan G30S/PKI. Tapi, yang sungguh memalukan kali ini adalah karena pembakaran itu dilakukan di depan hidung seseorang dengan gelar profesor ilmu sejarah, yang bahkan menyetujui, dan menganggapnya sebagai "ungkapan kekecewaan". Tampaknya, gelar profesor atau pendidikan akademik yang sedemikian tinggi masih tidak juga membuat pria yang pada tahun 1965 menjadi anggota pemuda GP Ansor, kelompok yang ketika itu aktif membantai jutaan orang yang dituduh sebagai anggota PKI, ini menghargai benda yang telah membuat ia memperoleh kedudukannya sekarang ini. 
 
Penulis beberapa buku yang memojokkan PKI dan gerakan petani ini mungkin sudah terlampau renta atau bahkan pikun untuk menulis sebuah buku sanggahan sehingga memilih cara membakar buku karya orang lain. Alih-alih memakai pengaruhnya sebagai ahli sejarah dan pengajar, ia malah melakukan tindakan yang justru membuat namanya tercatat di sejarah sebagai seorang yang sikapnya tidak ubahnya manusia prasejarah. Aksi demo itu tampaknya tidak akan begitu menjadi bahan pembicaraan atau bahan tulisan ini jika mereka tidak melakukan tindakan yang dikecam di mana-mana ini, tindakan yang juga pernah dilakukan Nazi, Khalifah Umar, penjajah Spanyol di Amerika Selatan, Shi Huang-ti, dan tiran-tiran lainnya. Sedemikian hebatnyakah pengaruh sebuah buku di negara yang tingkat bacanya rendah dan masyarakatnya tidak terlalu peduli pada sejarah bangsanya sendiri ini? Namun yang jelas, tanpa adanya peristiwa ini, saya mungkin tidak akan tahu bahwa ada sebuah buku berjudul Revolusi Agustus yang ditulis oleh seorang yang menjadi petinggi PKI di Madiun pada tahun 1948. Semoga juga makin banyak masyarakat yanng juga mempertanyakan ini, kenapa sebuah buku bisa sampai dibakar? Oleh profesor lagi! Apa yang hendak ditutupi?
 
Menyebalkan dan sewenang-wenang. Itulah kesan saya ketika kemudian mendengar berbagai komentar profesor satu ini. "Sejarah memang versinya yang menang. Lha, gimana, kalah kok njaluk sejarah!" Entah dia jujur, sombong, atau memang pikun tadi, beginilah penjelasan dia tentang komentar itu. "Sekarang begini, kalau kamu pacaran, belum menikah, masih bebas. Setelah Anda kawin, masak istri Anda boleh diaku oleh orang lain? Sama seperti itu. Ingat, sejarah itu soal satu masa. SBY saat ini menang, maka dia bisa mempolitisasi sejarah." demikian penjelasannya dalam wawancarai pasca kejadian tersebut. Sangat khas oportunis. Sungguh memalukan jika penjelasan seperti itu keluar dari mulut profesor sejarah. Sejarah baginya bukanlah peristiwa atau fakta, tapi propaganda. Jika memang demikian, bolehlah saya menilai bahwa antara profesor dan juru ketik tidak ada bedanya. Kita tinggal mendengarkan apa yang dikatakan pemerintah yang menang, lalu kita sampaikan atau tuliskan kepada masyarakat. Bahkan, bukan hanya itu, sedapat mungkin kita mempertahankan apa yang dikatakan pemerintah dan menghancurkan semua usaha untuk mencari versi lain, terutama dari pihak yang berseberangan dengan penguasa. Kalau memang yang dikatakan pemerintah adalah kebencian, maka tugas kita adalah melestarikan dan sedapat mungkin menyebarkan kebencian itu dari generasi ke generasi. Mungkin itulah tugas profesor sejarah menurut Aminuddin Kasdi. Namun, sebuah artikel mengemukakan pertanyaan menarik: mengapa hanya komunis dan PKI? Mengapa bukan pihak kalah lainnya? 
 
Yang makin menjengkelkan, saat ditanya pendapatnya mengenai makin banyaknya anak muda yang menggugat sejarah versi Orde Baru, beginilah katanya: "Biasa saja itu. Mereka itu terpengaruh oleh opini-opini, apalagi dibumbui semangat anti-Orde Baru." Maksudnya, para mahasiswa (atau sebut saja pemuda) tidak bisa dipercaya karena mereka tidak mengalami sendiri peristiwa di tahun sebelum 1966. Anehnya, alasan profesor ini setuju dengan pembakaran buku Soemarsono adalah karena ia tidak setuju dengan sejarah Peristiwa Madiun 1948 versi Soemarsono (tahun 1965, Soemarsono sudah tidak lagi punya cukup pengaruh di PKI).
 
Jelas, jika mengikuti logikanya di atas, bahwa anak muda tidak berhak bicara sejarah karena tidak mengalami sendiri, hanya terpengaruh opini. Maka omongannya tentang peristiwa Madiun juga pasti hanya karena terpengaruh opini. Tidak mungkin ia menjadi saksi peristiwa itu, karena tahun 1948 ia baru lahir di Nganjuk. Jadi, pendapatnya mengenai sejarah yang tidak ia alami dan saksikan sendiri itu tidak bisa dipercaya! Maka, mestinya sejarah tentang kejadian 100 tahun lalu mustahil benar! Apakah begitu metodologi sang profesor? Lagi, jika menuruti logikanya, maka seharusnya para anggota Forum Anti Komunis harusnya juga dibatasi hanya mereka yang pada tahun 1965 sudah cukup umur untuk memahami apa yang terjadi saat itu. Harusnya hanya kakek-kakek seumurannya sajalah yang mengikuti demo itu, karena yang lebih muda hanya terpengaruh opini! 
 
Pepatah mengatakan, "sepintar-pintarnya bangkai disembunyikan, pasti baunya tercium juga." Makin konyol gerakan anti komunis beraksi, makin curiga pula para pemuda dengan motif mereka untuk terus menghajar paham yang sudah tidak ada gaungnya di perpolitikan Indonesia ini. Dan mengapa juga jargonnya terus menerus PKI, sebuah partai yang sudah hancur lebur 43 tahun lalu? Mungkin profesor ini takut, dengan berlalunya kekuasaan Soeharto, maka mayat-mayat korban pembantaian orang yang dituduh PKI pada 1965 bisa bangkit lagi dan membalas dendam kepada mereka. Jika ada ungkapan "kalau benar, mengapa takut?" maka perlu dipertanyakan mengapa orang-orang macam Kasdi bisa demikian paranoid dengan bayang-bayang masa lalu.
 
Buku tentu saja bukan hanya kumpulan kertas yang dijilid. Bahkan, bisa jadi dalam beberapa tahun ke depan, dengan perkembangan teknologi, definisi itu sudah tidak lagi relevan. Namun, satu yang tetap, buku adalah tentang isi dan informasi yang tertulis di dalamnya. Pembakaran buku adalah usaha melenyapkan informasi, ilmu, rekaman sejarah, karya seni, dan hak untuk bicara seorang penulis kepada dunia. Itu sebabnya, bukan kebetulan jika Tuhan pun memakai buku untuk menyatakan pesan firman-Nya kepada manusia. Jika karena alasan "orang kalah tidak berhak bicara (termasuk melalui buku)" sehingga profesor ini menyetujui pembakaran buku, maka biarlah melalui tulisan ini, ia merasakan bagaimana rasanya dikenal dan dikenang sebagai pecundang!
 
NB: tulisan ini adalah pada dasarnya merupakan rangkuman dari beberapa tulisan lain, di antaranya adalah: 
Dahlan Iskan: Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya