Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pemenang Itu Kagak Ade Matinye

arie_saptaji's picture

Adrenalin kita ikut terpacu saat pembalap favorit kita melesat dalam persaingan ketat di lintasan F1. Kita terpaku di tempat duduk ketika sang superhero terlibat dalam konflik pamungkas yang akan meneguhkan kembali kedigdayaannya. Kita melakukan standing ovation bagi para pahlawan dan pemenang. Dan, tak dapat disangkal pula, kita tentu berhasrat untuk dapat berdiri dalam deretan mereka yang berjaya.

Kita dilahirkan dengan DNA pemenang. Ini bukan sekadar naluri untuk bertahan hidup dan menjungkalkan lawan dalam survival of the fittest. Kemenangan ini justru lebih terarah pada kesadaran akan tujuan hidup, dan kebulatan hati untuk menggenapinya – betapapun mahal harga yang mesti dibayar.

Lalu, kenapa tak sedikit orang yang menjadi pecundang dalam hidup ini? DNA pemenang memang bukan benih yang siap tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Di dunia yang tidak sempurna ini, rumput liar lebih gampang tumbuh daripada padi. Begitu juga, agar tidak dicekik oleh apatisme, DNA pemenang perlu dipupuk dan dirawat.

Sikap-sikap apa saja yang kondusif untuk mengembangkan DNA pemenang kita? Berikut ini empat di antaranya. Yang pasti, dituntut disiplin, komitmen dan kosistensi kalau kita ingin melihat hasilnya.

Endurance
Musuh utama seorang pemenang tak lain adalah dirinya sendiri. Loyo, gampang menyerah, enggan mencoba lagi, trauma gagal – semua itu akan menghimpit benih-benih kemenangan. Orang yang gigih, sebaliknya, akan berjuang untuk “mematikan diri sendiri”: melepaskan sikap yang cengeng dan ambisi yang egois guna mengejar tujuan hidup yang bermakna.

Ketabahan juga berarti mencurahkan energi dan upaya sebaik-baiknya dalam menyelesaikan tugas yang dipercayakan dan menggapai visi yang dicanangkan. Ketabahan bersumber dari kecintaan pada apa yang kita lakukan dan kesadaran akan berharganya tujuan yang kita kejar. Dengan begitu, kita secara sadar memilih untuk melakukan sesuatu secara benar dan secara sungguh-sungguh.

Being Energy-Giver
Adalah lebih baik memberi daripada menerima. Kedewasaan, dan potensi kemenangan kita, ditentukan pula oleh kesediaan dan kemurahan hati dalam memberi. Para pecundang hidup dengan membuang-buang energi (energy-waster), dengan bersikap pasif dan menunggu kesempatan emas mendatangi mereka. Atau, lebih parah, mereka malah menyedot energi orang-orang di sekelilingnya (energy-taker), dengan bersikap egois, suka mengecam, dan enggan diperintah.

Adapun energy-giver, mereka membuat hidup lebih hidup. Ucapan, tindakan, dan sikap mereka membangkitkan semangat orang lain. Antusiasme mereka menular. Mereka sadar betul, dengan memberi mereka tak akan pernah kekurangan. Memberi adalah investasi. Karena apa yang mereka tabur, akan mereka tuai dengan berlimpah.

Joyfulness
Joy (sukacita) berbeda dari happiness (kebahagiaan). Kebahagiaan bersifat sementara, dan ditentukan oleh keadaan sekitar. Adapun sukacita meluap dari dalam, lebih kokoh dan lestari. Sukacita beranjak dari keasadaran akan kasih ilahi tanpa syarat (agape) -- kesadaran bahwa kita dihargai, disukai dan diterima apa adanya oleh Pencipta kita, bahwa kita leluasa untuk menjadi diri kita sendiri. Sukacita selanjutnya menggugah dedikasi karena dengannya kita menyadari betapa hidup ini sebuah anugerah yang berharga.

Seorang pemenang mengelakkan godaan untuk mengejar pemuasan seketika dan sesaat. Dengan sukacita sebagai bahan bakar, ia menjalani hidup dengan kesadaran “membangun” – kesadaran bahwa “kehidupan saya sedang mengembangkan, melakukan, dan mencapai sesuatu yang bermakna”. Kegagalan, karenanya, tak pernah jadi kata terakhir baginya; kegagalan justru mengurangi alternatif yang salah dan kian mendekatkan kita pada pilihan yang benar.

Hopefulness
Hidup kerap bergulir tak terduga. Saat kita sudah berupaya sebaik-baiknya, mendadak ada pelaku kejahatan menjarah aset kita, atau musibah menghancurkan bisnis kita, atau penyakit melumpuhkan kita. Kehidupan kadang secara brutal menyajikan kegetiran.

Seorang pemenang mengelak untuk menjadi pahit, atau terjerembab ke dalam fatalisme, atau bersandar pada optimisme muluk. Ia melihat adanya bigger picture di balik setiap kejadian. Ia menyadari keterbatasan dirinya, dan mengandalkan kebaikan Tuhan yang berdaulat. Dengan pengharapan, ia mencari sisi terbaik dan kemungkinan hasil atau jalan keluar terbaik, lalu mengupayakan yang terbaik untuk mewujudkannya.

Singkatnya, seorang pemenang itu nggak ade matinye! ***

__________________