Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kartumu Jelek?

xaris's picture

Dalam buku “Leading with Billy Graham” yang tengah saya baca, ada satu kisah menarik dari Presiden AS Dwight Eisenhower tentang kartu yang jelek. Diceritakan bahwa pada suatu malam Presiden Eisenhower sedang bermain kartu (Flinch nama permainannya) dengan ibu dan saudara-saudara laki-lakinya. Ibunya saat itu menjadi pembagi kartu dan membagikan kepada Presiden Eisenhower kartu yang jelek, sehingga menuai keluhan dari Eisenhower muda yang merasa dewi keberuntungan tengah bersembunyi darinya lewat tangan sang bunda.

Mendengar keluhan si anak, ibu yang bijaksana ini berkata, “Anak-anak laki-lakiku, taruh semua kartu-kartu kalian. Saya ingin berkata sesuatu, terutama kepadamu, Dwight. Kamu berada di dalam sebuah permainan di dalam rumahmu bersama dengan ibu dan saudara-saudara laki-lakimu yang mengasihimu. Tetapi di luar sana, di dalam dunia, kamu akan bermain dengan kartu yang jelek tanpa ada orang yang mengasihimu. Inilah nasehat bagimu anak-anakku, ambillah kartu-kartu yang jelek itu tanpa mengeluh dan mainkanlah. Mintalah Allah untuk menolongmu dan kamu akan memenangkan sebuah permainan yang penting, disebut kehidupan.”

Kisah itu telah mendistorsi perhatian saya dari topik utama buku yang tengah saya baca itu, karena sebagai seorang penjudi…eee… maksud saya berjudi dengan kehidupan… eee… salah lagi! Maksud saya, sebagai anak-anak Tuhan yang hidup dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, mendapatkan “kartu yang jelek” untuk dimainkan dalam kehidupan kita masing-masing adalah suatu hal yang sangat wajar. Kristus sendiri pernah berkata, “…for He causes His sun to rise on the evil dan and the good, and sends rain on the righteous and the unrighteous” (Matthew 5:45 NASB). Tidak ada yang diluputkan dari mendapat “kartu-kartu yang jelek” untuk dimainkan dalam hidup ini, anak Tuhan ataupun bukan. Tapi penting bagaimana kita memahami dan menangani “kartu-kartu jelek” ini…

Accept and Acknowledge
Saat berhadapan dengan penderitaan dan rekan-rekannya yang biasanya datang bersamaan dengan akurnya seperti rasa sakit yang mematikan, kesulitan-kesulitan hidup, kehilangan sesuatu atau orang-orang terkasih dan lain-lain, reaksi yang paling umum dari kita adalah menolak adanya kenyataan tersebut, dengan berbagai macam cara. Bersikap seolah-olah “kartu-kartu jelek” tersebut tidak pernah ada.

Tetapi sayangnya, menolak kenyataan sama dengan memperpanjang penderitaan itu sendiri. Karena keberadaan “kartu-kartu jelek” itu riil, mereka hanya bisa dihadapi dengan sesuatu yang riil pula. Bermain kartu di dalam mimpi tentu sama sekali bukan berarti tengah bermain kartu. Hanya dengan bangun dari mimpi itu dan berhadapan langsung dengan “kartu-kartu jelek” tersebut kita akan kembali memainkan mereka.
So, accept and acknowledge them!

Terima kenyataan bahwa hidupmu sedang penuh dengan airmata duka. Terima kenyataan bahwa rasa sakit itu sungguh melumpuhkan. Terima kenyataan bahwa badai permasalahan tengah melandamu tanpa ampun. Dan yang terutama, terimalah kenyataan bahwa yang tengah kau alami adalah memang sesuatu yang jelek. Rasakan pahitnya. Sengatnya yang sangat tajam.
Saya tidak setuju dengan orang-orang yang berusaha “melembutkan” buruknya kenyataan hidup yang harus dialami seseorang selain tentu juga saja dengan orang-orang yang melebih-lebihkan buruknya kenyataan yang harus dihadapi dalam hidup ini. Sayangnya banyak metode pemulihan di dunia ini yang mengabaikan buruknya tragedi-tragedi kehidupan manusia. Dan banyak dari kita sudah salah kaprah memandang penderitaan yang kita alami.

Saya pernah berdiskusi tentang keluarga yang dititipkan Tuhan anak-anak yang sering kita sebut kurang sempurna. Mengalami cacat tubuh misalnya, gangguan kesehatan serius ataupun keterbelakangan mental. Beberapa rekan berkata bahwa yang dialami itu harus diterima dengan penuh sukacita karena itu adalah hadiah terindah yang Tuhan beri.
Saya mengalami sedikit kesulitan menerima kata-kata tersebut. Ketidaksempurnaan si anak bagaimanapun juga adalah sesuatu yang buruk. Jelek. Menyakitkan. Mendukakan. Dan sangat wajar diterima dengan airmata. Tetapi yang indah dari semua itu adalah bahwa apapun yang terjadi tidak pernah bisa menghancurkan jiwa yang menghadapinya. Dari situlah sukacita kita bermula, bukan bersukacita dengan mengabaikan buruknya realita yang harus dihadapi.

Bahkan anak-anak Tuhan sendiripun (termasuk saya tentu) seringkali hanya mengartikan dosa-dosa kita sebagai suatu kesalahan-kesalahan yang kita lakukan di dalam hidup. Kita seringkali tidak menyadari bahwa apa yang kita sebut kesalahan-kesalahan itu sudah membuat Kristus harus mati di kayu salib untuk menanggungnya. Kita lupa bahwa kitalah yang seharusnya mati di kayu salib itu. Kita tidak gentar dengan kematian karena tidak mengerti betapa mengerikannya jalan yang sudah Kristus tempuh buat kita.

Tidak heran banyak orang justru beranggapan bahwa mati adalah jalan terbaik bagi kesulitan hidup ini.
Mengabaikan realita ini akan melatih kita semakin tidak menghargai apa yang sudah Kristus lakukan buat kita. Penderitaan luar biasa yang dihadapiNya demi kita. Dia mati untuk menghidupkan kita dari kematian kekal, seperti Sleeping Beauty yang dibangunkan dari mimpi kekalnya. Kenapa kini kita mau tertidur lagi menghadapi “kartu-kartu jelek” kita? Accept and acknowledge.

By His Very Own Permission
Kadangkala kita memandang apakah kartu-kartu kita jelek atau tidak juga dipengaruhi siapa yang membaginya. Kalau kita tahu bahwa si pembagi sama sekali tidak berkuasa menentukan kartu yang mana bagi siapa, kita cenderung lebih kurang sakit hati menerima kartu-kartu jelek tersebut. Tetapi jika kita mengetahui bahwa si pembagi kartu mampu mengatur agar kita tidak menerima kartu-kartu jelek itu, kita akan jauh lebih sakit hati menerima kartu-kartu jelek kita. Kita akan bilang, musuh dalam selimut lebih mematikan daripada Enemy at The Gate = D...

Saya coba membayangkan perasaan nabi Habakkuk saat Tuhan berkata, “Look among the nations! Observe! Be astonished! Wonder! Because I am doing something in your days, you would not believe it you were told. For behold, I am raising up the Chaldeans, that fierce and impetuous people who march throughout the earth to seize the dwelling places which are not theirs.” Habakkuk 1:5-6 NASB, oh LORD God, nothing but unspoken desperation, would it? Betapa gentar, hancur, remuk dan kecewanya perasaan nabi Habakkuk melihat apa yang akan dilakukan Tuhan. Membiarkan satu bangsa yang begitu kejam menghancurkan umatNya sendiri.

Tapi satu fakta yang tidak bisa terhindarkan adalah bahwa “kartu-kartu jelek” dalam kehidupan kita hanya mungkin tiba pada kita dengan seijin sang Pembagi yang Agung itu sendiri. Tanpa ijinNya tak ada secuil pun penderitaan yang sanggup menyentuh kita. Ini akan membawa kita pada pertanyaan berikutnya, “Kalau realita penderitaan begitu mematikan, mengapa Ia yang sanggup menghalau hingga tuntas mengijinkan penderitaan tiba pada kehidupan anak-anak yang dikasihiNya begitu dalam sampai mengorbankan yang paling dikasihiNya sendiri di kayu salib?”, dan banyak orang-orang paling bijaksana pun akan terdiam menghadapi pertanyaan ini.
Mengapa? Karena tidak memahami realita dosa.

Tidak memahami bahwa Tuhan Allah yang penuh kasih adalah juga yang penuh keadilan. Tidak dibiarkanNya satu dosa pun lolos tanpa penghakiman yang adil. Tapi masalahnya disini tidak ada seorang manusiapun yang akan sanggup memahami hal ini tanpa Tuhan sendiri membukakannya. Sudah dibukakanpun tetap banyak yang tidak kita mengerti. Bahkan hingga kita tiba di surga nanti, tetap akan ada banyak hal yang tidak kita mengerti seperti Tuhan. Yang diciptakan bukanlah Sang Pencipta itu sendiri.

Oleh karena itu dalam menghadapi realita “kartu-kartu jelek” yang diijinkanNya sampai dalam genggaman kita, terimalah kenyataan bahwa dengan segala keterbatasan yang kita miliki sebagai ciptaanNya, satu hal yang tetap bisa kita pegang, bahwa Tuhan Allah bukanlah pencipta baik dosa maupun penderitaan. KekudusanNya justru tidak mengijinkan dan membiarkan adanya dosa. Dia tidak bersukacita atas penderitaan kita, justru memilih mati untuk menanggung semua itu untuk kita. Agar mengembalikan kita ke dalam posisi sebagaimana kita diciptakan, anak-anakNya yang kudus seperti Dia.

Sehingga yang diperbuatNya bukanlah mengakibatkan penderitaan lahir, menjadi sumber dari penderitaan kita. Melainkan justru menggunakan penderitaan itu untuk membawa kita kembali kepadaNya. Disitulah kuasa dosa dan maut dikalahkan dengan telak oleh kasihNya, karena Ia mampu membawa kita menang bukan karena kartu-kartu kita bagus, tetapi bahkan lewat kartu-kartu yang terjelekpun Ia sanggup memampukan kita untuk menang. Disitulah luar biasanya Tuhan!

“But in all these things, we overwhelmingly conquer through Him who loved us.”

Romans 8:37 NASB

Terjemahan lain (NIV, LAI) mengatakan bahwa kita “more than conqueror” dalam pertempuran kita dengan penderitaan dan dosa. Saya sering bertanya seperti apakah kiranya menjadi lebih daripada pemenang (atau harafiahnya penakluk), bukankah pemenang itu adalah segala-galanya? Saya kemudian teringat bahwa pemenang ada yang bisa menang karena memang kemampuan dirinya yang sangat memadai sehingga memang pantas untuk memenangkan suatu pertempuran. Tetapi kita sebetulnya bukan menang karena kita pantas, karena kita mampu, karena kita bisa. Tapi karena kita dimampukan, dibuat pantas, kita dijadikan pemenang, lewat Dia yang mengasihi kita. Itulah pemenang yang lebih daripada pemenang.

Satu hal terindah yang saya rasakan Tuhan perbuat melalui kesulitan-kesulitan yang saya alami adalah dengan begitu murah hatinya Tuhan mengijinkan saya mengalami kemenangan dari semua itu, merasakan menjadi seorang yang menang. Bahkan dengan cara yang luar biasa. Overwhelmingly! Hingga saya pun tercengang saat melewati semua itu. Bagaimana mungkin saya bisa melalui masa-masa itu? Satu jawabannya.

“When you pass through the waters, I will be with you; and through the rivers, they will not overflow you. When you walk through the fire, you will not be scorched, nor will the flame burn you. For I am the LORD your God, the Holy One of Israel, your Saviour; I have given Egypt as your ransom, Cush and Seba in your place. Since youa re precious in My sight, since you are honored and I love you, I will give other men in exchange for your life. Do not fear, for I am with you; I will bring your offspring from the east, and gather you from the west.”

Isaiah 43:2-5 NASB

Because He is with us, all the way.

Come What May!
Kalau kita tahu bahwa kartu yang kita miliki dalam permainan jelek, kalau kita tahu bahwa Allah mampu bekerja membawa kebaikan lewat kartu yang jelek itu, maka kita pasti tahu bahwa saat kebaikan itu tiba, kejelekan kartu itu sudah tidak lagi menjadi masalah. Bukan soal kartu yang kita miliki itu jelek atau baik, melainkan dengan kartu yang jelek itu kita dimampukan memperoleh kartu-kartu yang baik.

Ingat Joseph yang kartu-kartunya begitu jelek. Tuhan tidak menggantinya. Saya coba bayangkan apa “tumit Achilles” Joseph, apa yang membuat dia jadi putus asa. Terus-menerus jadi orang yang dipersalahkan untuk kebenaran yang dia nyatakan? Apakah rasa sakit karena seolah dipermainkan Tuhan dengan permainan “give and take away” yang berulang-ulang? Apakah karena tunnel gelap yang dilalui tak juga berakhir meskipun sudah begitu banyak pelajaran berharga yang dia dapatkan?

Tetapi Alkitab tidak pernah mencatat itu. Karena itu tidak penting. Tidak sepenting daripada menyatakan apa yang lahir dari jalan buntu di hidup Joseph, apa yang mampu Allah lakukan lewat kartu-kartu jeleknya. Dan saya percaya waktu Joseph menoleh ke hari-hari sebelumnya dimana dia mungkin pernah berseru apa yang Tuhan mau kerjakan lewat kartu-kartu jeleknya, ia akan dimampukan untuk melihat bahwa bahkan pada saat ia tengah berteriak itu, Tuhan justru tengah membawa dia menjadi pemenang dalam pertempuran hidupnya.

Apa yang terlihat di awal tunnel gelap tempatmu kini berada tidak bisa kau jadikan patokan atau ukuran akan keadaan di ujung tunnel sana. Satu hal yang pasti, tunnel itu punya satu ujung lain selain dari ujung tempat perjalananmu berawal. Di dalam kegelapanlah engkau justru dilatih menjadi lebih kuat, lewat berbagai keterbatasan yang kegelapan hadirkan.

Waktu dulu di kelompok pecinta alam, ada satu perlombaan tahunan mendaki gunung Gede yang kami coba ikuti. Ada satu kelompok yang tampil luar biasa. Mereka bukan mendaki saat perlombaan dimulai, mereka berlari hingga puncak tercapai. Tahu apa yang mereka lakukan saat berlatih? Mereka latihan berlari di pasir dengan kedua belah kaki dibebani. Mereka menang karena latihan Spartan itu.

Seperti itulah kegelapan melatihmu dan memampukanmu menjadi lebih dari seorang pemenang. Di ujung tunnel nanti kau mungkin akan berhadapan dengan gelap yang sama. Kitab Kejadian mencatat, “While the earth remains, seedtime and harvest, and cold and heat, and summer and winter, and day and night shall not cease (Genesis 8:22 NASB)”.

Pagi dan malam saling bergantian selama dunia ini masih ada. Tapi tidak ada tahu kapan harimu akan menjadi terang setelah gelap begitu lama. Tapi ini yang akan kau mengerti. Tidaklah penting pagi dan terang itu selama Dia selalu dekatmu. Semua yang hadir dalam hidupmu hanyalah untuk semakin membawamu kembali kepadaNya. Menjadi serupa denganNya. Dalam topangan kasihNya tidak ada apapun yang sanggup menggoncangkan hidupmu hingga hancur. Justru itu semua akan semakin membuatmu kuat dan berlari terus hingga pertandinganmu selesai.

Kartumu jelekkah kini? Wait for the Lord. Be rest assured. For He will bring them for a glorious end…!