Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Homoseks:Keturunan atau Lingkungan?

Purnawan Kristanto's picture

Apakah homoseks itu karena pembawaan sejak lahir atau karena dibentuk oleh lingkungan? Topik ini mengalir dalam bincang-bincang saya dengan bu Nunuk dan Tutik, sambil menyantap makan siang (27/Nop).

Apa yang menyebabkan seseorang memiliki orientasi seks yang menyukai sesama jenis? Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa orientasi ini dibentuk oleh faktor genetika di dalam tubuhnya. Sebagai contoh, ada anak-anak laki yang sejak kecil berperilaku lemah gemulai layaknya kaum perempuan. Jalannya genit, cara bicaranya lembut dan lebih senang bermain dengan teman perempuan.

Saya berpendapat, teori yang pertama ini memiliki implikasi teologis yang sangat serius. Jika seseorang dibentuk oleh gen-gen yang memiliki orientasi seksual menyukai sesama jenis, maka itu mengandung implikasi bahwa Allah merestui homoseksual. Buktinya, Allah memberikan gen-gen yang “bukan laki-laki” dan “bukan perempuan”

“Sebelum kamu menyimpulkan demikian, renungkanlah penjelasan berikut ini,” kata bu Nunuk sambil menyuap makanan. Dia mengunyah sebentar, kemudian melanjutkan penjelasannya,”Pernahkah kamu kamu memikirkan dalam konteks apa teologi bi-seksual, yaitu ajaran yang hanya mengakui dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan itu dibuat? Dalam konteks budaya Patrarkhi di Timur Tengah. Pernah nggak kamu memikirkan bahwa bisa saja terjadi bias budaya di dalam pengajaran teologi biseksual?”

Saya terkesima mendengar penjelasan bu Nunuk. Nasi yang saya telan, seakan tercekat di tenggorokan. Saya buru-buru mengambil air minum untuk menggelontor makanan itu.

“Aku tahu, kamu pasti kaget mendengar logika ini,” kata bu Nunuk sambil tersenyum, “Pada mulanya, aku pun terkejut karena hal ini bertentangan dengan iman Katolikku. Tetapi sebagai aktivis HAM, aku berkewajiban berpikir terbuka dan menerima pendapat dari siapa pun,” lanjut anggota Komnas Perempuan ini.

“Bisa jadi, selama ini ada orientasi seksual ketiga, yaitu di luar orientasi laki-laki suka dengan perempuan dan perempuan suka dengan laki-laki. Namun selama berabad-abad hal ini direpresi dan ditekan oleh budaya Patriakhi.”

“Saya belum bisa menerima pendapat bahwa Allah mungkin menciptakan orientasi seksual yang ketiga ini, bu” jawab saya jujur. “Meski begitu, saya coba memahaminya begini: Memang akhir-akhir ini terjadi perubahan genetika di dalam tubuh manusia. Hal ini akibat dari kemajuan teknologi, peningkatan tingkat kesehatan, membaiknya asupan makanan, tapi juga karena pencemaran. Sebagai contoh, manusia purba memiliki rahang dan gigi yang sangat kuat. Hal ini dibutuhkan untuk mengoyak dan mengigit daging dan makanan lainnya. Namun seiring dengan kemajuan peradaban, bentuk rahang dan gigi manusia mengalami perubahan.”

“Maka tak mustahil, perubahan-perubahan ini juga mempengaruhi kromosom pembentuk orientasi seksual manusia. Misalnya, peternak ayam potong sering menyuntikkan hormon estrogen pada hewan ternaknya. Jika dikonsumsi secara berlebihan oleh kaum pria, maka ada kecenderungan pertumbuhan payudara pada kaum pria.”

Bu Nunuk manggut-manggut. “Teori yang lain mengatakan bahwa orientasi homoseksual itu dibentuk oleh faktor lingkungan,” kata bu Nunuk menimpali ucapan saya. “Pengalaman saya selama mengkonseling beberapa orang, ternyata ada orang yang menjadi homoseks karena pengalaman traumatis di masa lalu. Misalnya, ada anak perempuan yang melihat bapaknya sering menghajar ibunya. Akibatnya dia menjadi benci pada ayahnya dan semua kaum laki-laki.”

“Orang yang seperti ini bisa mengalami perubahan,”lanjut pegiat lembaga konsumen ini,” kalau punya kemauan yang kuat, dia bisa mengubah orientasi seksualnya menjadi menyukai lawan jenis.”

Persoalannya, teori yang mana yang harus saya yakini? Untuk saat ini, saya belum bisa memutuskannya. Saya lalu teringat teman saya. Isterinya minggat bersama dengan teman perempuannya. Dia minta cerai, tapi teman saya menolak. Dia berkeyakinan, apa yang dipersatukan oleh Allah itu tidak dapat dipisahkan oleh manusia.

 “If any man wishes to write in a clear style, let him be first clear in his thoughts; and if any would write in a noble style, let him first possess a noble soul”
~ Johann Wolfgang von Goethe                                                                                                                      
::+::+::+::+::+::+::+::+::+::+::+::+::+::+::+::+::+::+::+::+
** Kunjungi Blog saya:
http://purnawan-kristanto.blogspot.com
http://kisah-inspiratif.blogspot.com/
** Kunjungi situs saya:
http://www.geocities.com/purnawankristanto/
 

__________________

------------

Communicating good news in good ways

dennis santoso a.k.a nis's picture

diskusi yang beneran diskusi ... interesting

Persoalannya, teori yang mana yang harus saya yakini? Untuk saat ini, saya belum bisa memutuskannya.

setuju Pak, yang beginian ini makin dipikir makin pusing. kalo saya sih cenderung give up deh.

bagian yang bisa saya lakukan adalah berusaha untuk tidak bersikap jijik atau merendahkan mereka aja paling.

itu pun masih harus berusaha ekstra; masalahnya mungkin karena saya lelaki jadi secara alami timbul rasa 'gimanaaa gitu'.

btw, nice post Pak.