Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

DWI BONGSOR

Purnomo's picture

               Mei 2013. Setelah menurunkan istri di Gang Baru untuk belanja, aku membelokkan motorku ke gang sebelahnya. Di seberang rumah kecil aku memarkirkannya. Seorang lelaki keluar dari rumah itu karena melihat aku.
            ”Koh Ping Liang ya?” tanyaku.
            ”Iya betul. Mau cari apa, Oom?”
             Dia tidak tanya ‘mau cari siapa?’ karena dia jual barang rongsok, begitu yang tercatat dalam databaseku. Baru sekali ini aku ke rumah ini.

 

 
            
Aku memperkenalkan diri dan mengutarakan maksudku mengetahui bagaimana prestasi belajar Dwi anaknya yang sudah lulus dari SD Masehi bulan Juni 2012. Di SD ini dia kami santuni selama 3 tahun. Aku dipersilakan masuk dan dia memanggil Dwi serta ibunya. Dwi lahir tahun 1994 dan sekarang duduk di kelas 7 SMP swasta. Anak-anak lain seumur dia pasti sudah di kelas 12.

              “Masih ingat aku, Dwi?” tanyaku ketika anak itu muncul. Dia mengangguk.
              “Sudah terima rapot?” tanyaku. Dia mengangguk. Ibunya – Maemun – menyuruhnya mengambil rapot. Aku memeriksanya.

             “Wah, kamu pintar Dwi. Nilai rata-ratamu di atas rata-rata kelas. Tidak ada nilai di bawah 60,” komentarku. Lalu aku menoleh ke arah papanya. “Koh, saya ingin tahu mengapa Dwi dulu tidak disekolahkan di SD Kuncup Melati di kelenteng Gang Lombok yang jaraknya lebih dekat daripada ke SD Masehi.” SD Kuncup Melati ini selama 60 tahun tidak pernah memungut biaya pendidikan.

                Ibu Maemun yang kemudian bercerita. Saat Dwi berusia 4 tahun dia jatuh terjengkang dan belakang kepalanya terbentur lantai. Sejak itu dia seperti anak idiot. Dia masuk TK swasta, kemudian di SD Negeri karena SD Gang Lombok menolaknya, mungkin karena sudah tidak ada tempat. Di SDN beberapa kali dia tinggal kelas. Waktu naik ke kelas 6, ibunya mengherani mengapa anaknya yang tidak menguasai pelajaran kelas 5 bisa naik kelas 6. Karena itu dia bermaksud memindahkannya ke SD lain. Dia membawa Dwi ke sebuah SD Kristen dekat rumahnya. Setelah diuji, sekolah menolaknya, bahkan menganjurkan masuk SLB. Lalu mereka ke SD Kristen lainnya. Ditolak lagi.

                Kepseknya menyuruh mereka ke SD Masehi siapa tahu bisa diterima di sana. Setelah Kepsek Masehi mengujinya, dia menawarkan Dwi mengulang di kelas 3. Ibu Maemun menyetujuinya. (Pada saat yang bersamaan aku memulai penyantunan siswa SD Masehi itu.)

             “Dwi ini minder, susah bergaul,” kata Maemun mengakhiri kisahnya.
             “Minder? Kelihatannya saja, Bu,” sanggahku. “Di SD dulu sering diam-diam saya perhatikan dia. Dia berani menjail teman ceweknya lho. Sekarang sudah punya pacar, Dwi?”
              Dwi menggeleng sambil meringis.

 

              Istriku datang. Aku sudah berpesan kepadanya kalau selesai belanja agar menyusul aku ke rumah Dwi.
           “Masih kenal saya, Dwi?” tanya istriku.

             Dwi mengangguk sambil tersenyum. Pasti masih kenal karena mereka pernah bertengkar gara-gara waktu pembagian kacamata gratis Dwi memilih frame warna pink sedangkan istriku bersikukuh menyuruhnya mengambil frame abu-abu. Waktu persekutuan rohani Jumat siang istriku juga yang memaksanya membaca Alkitab walau teman-temannya meneriaki ‘dia tidak bisa baca’. Dwi membaca terbata-bata dan terus disemangati istriku sehingga akhirnya dia bisa membaca dengan lancar. Anak bongsor ini bukannya bodoh atau terbelakang, tetapi dia butuh dorongan. Dijuluki ‘bongsor’ karena dia anak paling besar di kelasnya.

             Di akhir kunjungan aku bertanya berapa uang sekolahnya di SMP. Ibu Maemun menyodorkan kartu uang sekolah. “Seratus lima ribu setiap bulan. Tetapi ada beasiswa BOS 45 ribu, jadi hanya bayar 60 ribu saja.”

             Aku menelisik angka-angka di kartu itu dan ternyata pungutan ini dilunasi tepat waktu setiap bulan. Mereka memperhatikan pendidikan Dwi. Kami berpamitan. Aku tidak menjanjikan apa pun kepada mereka. Tetapi dalam benakku aku mulai berpikir untuk membantu ortu siswa alumni SD Masehi yang ke SMP swasta, yang betul-betul memperhatikan pendidikan anaknya walau penghasilan mereka pas-pasan.

             Semoga mulai Juli-2013 aku bisa mengawalinya dengan 5 orang siswa.

-   -   -   -   -  -  -  -  -

              Itulah status yang aku unggah di sebuah group Facebook bertanggal 27.04.2013 yang muncul di menu “On This Day”.  Tiga tahun telah berlalu. Dwi sekarang di SMK Swadaya Taman Progo milik sebuah yayasan Islam, kelas 10.

            Ide untuk memperluas santunan SD kepada 5 siswa SMP yang sewaktu di SD kami santuni telah dilaksanakan. Karena dukungan para donatur yang konsisten , saat ini kami bisa menyantuni 6 siswa SMP, 12 siswa SMK dan 2 mahasiswa.

            Heran ya. Aku berencana untuk 5 orang Tuhan memberi 20 orang.

            ** foto di atas ini aku ambil pada saat kunjungan Mei 2013. Dwi berdiri dengan gaya kaku. Tetapi lihatlah ekspresi wajah ibunya. Itulah yang mendorong aku menyimpan foto ini karena melukiskan kebanggaan seorang ibu kepada anaknya, apa pun kata orang tentang puteranya.